DIPERKIRAKAN sekitar awal tahun 2020, dewasa awal yang berusia 20 hingga 40 tahun akan mendominasi pasar kerja. Angka natalitas yang tinggi pada era baby boom, membuat le­dakan penduduk pada abad ini tidak terben­dung. Hal ini dapat menjadi peluang sekaligus ancaman kita sebagai generasi muda yang turut njamani pada masa yang disebut-sebut bonus demografi. Apabila dapat memanfaa­tkan tenaga yang berlimpah ini, Indonesia akan jadi negara superpower layaknya China atau menjadi collapse terlalu banyak tenaga pen­ganggur. Generasi Millenial yang lahir sekitar tahun 90-an hingga sekarang adalah orang-orang yang harusnya memegang kendali roda eko­nomi negara pada era bonus demografi. Kitalah yang menang­gung jaya atau suramnya perekonomian yang terjadi pada era itu. Sayangnya, 40 persen dari total generasi ini masihlah berpen­didikan SD dan kurang dari 20"/o berpendidikan Sarjana. Sehingga dapat diprediksi, mayoritas angkatan kerja Indonesia adalah uns­killed labor alias tenaga kerja tak berpendidikan.

Apabila mayoritas angkatan kerja adalah angkatan yang tidak berpendidikan, tentunya akan jadi masalah dalam penggerakan roda perekonomian. Khususnya pad a era digital saat teknologi mulai menggantikan tenaga kerja tak terdidik. Tentunya, bukan­lah tenaga tak terdidik yang bisa menggerakkan start-up yang mulai bermunculan di Indonesia. Lantas, bagaimanakah cara kita untuk mengatasi masalah ini ? 
Indonesia perlu meneladani China dan Jepang dalam memanfa­atkan populasinya untuk menggerakkan roda perekonomian. Hi­roshima yang merupakan diluluh-lantahkan pad a tahun 1945, harusnya membuat perekonomian Jepang anjlok, mengingat kota tersebut adalah pusat penelitian Jepang. Namun, hal ini di­patahkan Jepang pada tahun 60-an dengan tergesernya Ford oleh Toyota di pasar Amerika. 
Hal ini disebabkan oleh fase baby boom berhasil dimanfaatkan oleh Jepang pasca perang dunia ke dua. lnfrastruktur dan pendi­dikan difasilitasi pen uh oleh pemerintah Jepang serta budaya kaizen alias perbaikan perlahan yang digemborkan kepada mas­yarakatnya. Rasa nasionalisme yang tinggi penduduk juga mem­bantu percepatan dalam pembangunan.

China pun demikian, penduduknya yang lebih dari 1 miliar jiwa tidak membuat ia collapse oleh angka penganggur. Kes­empatan bisnis dibuka besar-besaran oleh pemerintahnya. Bisnis domestik sangat diproteksi dengan meminimalkan
angka impor dan meninggikan hambatan pengusaha mancanegara untuk masuk ke pasar. Hal ini juga didukung oleh jiwa pedagang penduduk China yang sudah terhitung turun-te­murun. Kini, China menjadi negara dengan GDP tertinggi di seluruh dunia karena pemanfaatannya terhadap sumber daya manusia. Selama ini, kita banyak bergantung dari sektor minyak dan gas dalam perekonomian. Terbukti, sektor migas merupakan sektor dengan pemasukan tertinggi kedua dalam PDB negara.

Padahal, migas bukanlah sektor yang dapat digantungkan dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan karena migas bukan hal yang dapat di produksi dengan cepat dan mudah. Oleh karena itu, kita perlu menggiring perekonomian kita pada in­dustri yang dapat berkelanjutan serta memanfaatkan unski­lled labor yang kita miliki dalam jumlah besar. Apabila tidak, akan terjadi pengangguran massal yang banyak berdampak buruk bagi sektor sosial.

Pengangguran yang tidak diatasi akan menimbulkan masalah sosial di masyarakat, mulai dari kriminalitas, ,turunnya minat terhadap pendidikan, dan meningkatnya prostitusi. Contohn­ya, Afrika Selatan yang memiliki tingkat pengangguran se­jumlah 26% pada tahun 2018. Penduduk mereka rela untuk melakukan "jual diri" hanya demi sesuap nasi. Tentunya apabila hal ini menjadi keterpaksaan, hal-hal yang menyimpang selainnya pun akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan. Jalan-jalan pintas seperti berjudi, menjual narkoba hingga perarn­pokan pun akan menjadi marak terjadi. Sektor Bisnis dan lndustri merupakan salah satu peran yang dapat diambil oleh tenaga terdidik untuk menciptakan lapangan kerja untuk era bonus demografi. Skilled labor yang terbatas di Indonesia tidak bisa sekadar menunggu dan bersaing untuk merebut kursi yang disediakan oleh pihak lain. Apabila kita hanya mengan­dalkan lapangan kerja yang disediakan pemerin­tah dan swasta, tentu laju pertumbuhan pendu­duk akan jauh mengalahkan ketersediaan lapangan kerja. Dan berujung pada krisis yang mengenai seluruh lapisan masyarakat. Memulai bisnis sejak dini merupakan salah satu langkah yang bisa kita ambil sebagai tenaga terdidik untuk mencegah masalah ini datang di kemudian hari. Pastinya, dengan membuka lapan­gan pekerjaan kita juga turut serta membantu pemerintah dalam menyonsong suksesnya pemanfaatan era bonus demo­grafi. Hal ini telah dibuktikan salah satu start-up digital yang ba­ru-baru ini exist di Indonesia.

Menurut survey BPS tahun 2017, terhitung pengangguran di In­donesia turun sebanyak 508.000 orang. Sekitar 200.000 dianta­ranya adalah mitra salah satu start-up ojek online di Indonesia, Go-Jek. Selain menyelesaikan masalah ojek pangkalan yang menghabiskan 70% waktu kerjanya untuk menunggu, ia juga menyelesaikan masalah pengangguran tak terdidik di Indonesia, sebabnya, mengemudi tidak memerlukan ijazah SMA ataupun Sarjana.

Tentu tak hanya driver ojek yang merasakan manfaatnya. Keha­diran Go-Jek yang menyediakan fitur selainnya seperti Go-Food juga tu rut mengencangkan sabuk industri PKL dan Maka­nan. Dilansir dari artikel industri.bisnis.com, ada sekitar 35.000 Mitra Go-Food yang sudah bekerja sama dan terse bar di 15 kota yang ada di seluruh Indonesia. Tentu tak hanya driver ojek yang merasakan manfaatnya. Kehadiran Go-Jek yang menyediakan fitur selainnya seperti Go-Food juga tu rut mengencangkan sabuk industri PKL dan Maka nan. Dilansir dari artikel industri.bis­nis.com, ada sekitar 35.000 mitra Go-Food yang sudah bekerja sama dan tersebar di 15 kota yang ada di seluruh Indonesia.

Pemerintah pun banyak memberikan dukungan bagi mas­yarakat yang memiliki jiwa entrepreneur namun memiliki keterbatasan modal. Hal ini dibuktikan dengan adanya Kompetisi Program Kreativitas Mahasiswa serta Program Mahasiswa Wirausaha yang banyak disebarluaskan di dunia perkuliahan. Tentu pemerintah berharap, banyak mahasiswa yang nantinya akan jadi pemilik usaha yang turut menggerakkan dunia perekonomian.

Dilansir dari beritasatu.com, ada lagi program yang di­dukung oleh Kemenlu (Kementrian Luar Negeri} dengan menggandeng salah satu organisasi pemuda bernama IYP (Innovative Youth Project) yang diselenggarakan sejak tahun 2011. "Saya mengapresiasi atas terselengaranya acara ini yang merupakan forum konektivitas dan networ­king para wirausaha muda terkemuka Indonesia, khususn­ya para peserta program Outstanding Student for The World {OSTW) 2016", kata Agus, Sekretaris Kementrian Koperasi dan UKM. Tentunya, tak ada lagi alasan bagi kita tidak memulai wirau­saha sejak dini. Sela in ada dukungan pen uh dari pemerin­tah, Indonesia juga sedang membutuhkan peran-peran kita sebagai generasi terdidik untuk tu rut menggerakkan roda perekonomian dan mengatasi pengangguran. So, apalagi alasan untuk tidak memulai usaha, guys? (Danang Rizky Nugroho)

 

Sumber : B-Magz FEB Unair vol-1