Sejak akhir tahun 2023 Indonesia kembali membuka kran impor beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Beras didatangkan dari India sebesar 1 juta ton dan dari Thailand sebesar 2 juta ton. Impor tersebut merupakan kelanjutan dari kontrak impor yang sebelumnya telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo.
Data BPS merilis total volume impor beras yang dilakukan Indonesia sepanjang Januari – November 2023 sebesar 2,53 juta ton dengan nilai 1,45 miliar dolar Amerika . Mengapa negara yang dikenal agraris bisa melakukan impor?. Banyak sekali alasan yang memang mempengaruhi, mulai dari faktor cuaca/iklim, makin sempitnya lahan pertanian karena banyak dijual oleh pemiliknya, teknologi yang digunakan, dan lainnya.
Beras sebagai salah satu makanan pokok masyarakat Indonesia menjadi komoditas penting yang dimasukkan kedalam rencana jangka panjang untuk mewujudkan ketahanan pangan dalam negeri. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah seperti memperketat distribusi pupuk, pelatihan manajemen pertanian, dan pengerjaan proyek terbesar saat ini yang sedang dikembangkan dikenal dengan food estate, semua dilakukan demi menjaga kedaulatan pangan di Indonesia.
Melihat dari sudut pandang ekonomi, bagaimana kontribusi sektor pertanian dari sisi penjualan secara keseluruhan jika pemenuhan pangan dalam negeri saja masih impor?. Memang kontribusi sektor pertanian terhadap nominal PDB menurun pada angka 13,70 persen (2020), 13,28 persen (2021), dan 12,40 persen (2022). Melihat penurunan PDB tersebut, maka sekilas bisa diasumsikan jika produktivitas beras di Indonesia belum mencapai kedaulatan seperti yang di cita-citakan, apalagi mencapai swasembada pangan, nampaknya akan sulit sekali.
Apa yang mesti kita perbuat melihat sebagian kecil kenyataan bila Indonesia tidak se-agraris seperti dulu?. Pertama, kembangkan sumber daya manusia yang betul-betul mencintai profesi di bidang pertanian. PDDikti mencatat ada 1.862 program studi pertanian dengan jumlah mahasiswa 313.169.
Kedua, akses mudah untuk memperoleh fasilitas pertanian. Salah satu fasilitas penting yang diberikan kepada petani namun selalu menghadirkan masalah adalah pupuk. Permasalahan muncul dari hulu sampai dengan hilir, mulai dari pendataan permintaan pupuk sampai dengan penjualan kepada petani. Bahkan sampai dikeluarkannya kartani (Kartu Tani) belum memberikan solusi permasalahan pupuk. Sebagai bagian penting untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan, komitmen pemerintah untuk menyediakan bantuan pupuk perlu dipertanyakan lagi karena dalam 3 tahun terakhir alokasi belanja pupuk bersubsidi terus mengalami penurunan yaitu dari 34 Triliun (2020), 25 Triliun (2021), dan merosot jauh 23 Triliun (2022).
Ketiga, masih layakkah menjalankan food estate?. Konsep food estate untuk penyediaan lahan luas yang difokuskan penyediaan sumber pangan masih layak dilanjutkan, namun dengan catatan konsep ini perlu disiapkan secara matang dan berkelanjutan. Penyiapan strategi mewujudkan konsep food estate lagi-lagi kembali pada poin pertama, yaitu bagaimana persiapan SDM kita, apakah mereka siap terjun sebagai petani. Tentunya petani yang dimaksud adalah petani modern yang telah mengembangkan model beserta teknologi mutakhir pada pengaplikasiannya di lapangan.
Para sarjana pertanian diberikan fasilitas pendukung untuk mempraktikkan keilmuannya di dalam pengolahan pertanian. Tanaman yang dikembangkan adalah tanaman pangan dan tanaman komoditas yang memiliki harga tinggi di pasar. Program dilaksanakan secara berkelanjutan yang memiliki makna konsep food estate harus dikelola penuh secara berkesinambungan dengan tetap memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan. Food estate sebagai lumbung pangan negara perlu didukung untuk menjaga kedaulatan pangan negara, sehingga negara lebih mandiri untuk mencukupi pangan dan bisa meminimalisir impor dari negara lain. The Global Report on Food Crises (2023) telah memberikan alarm untuk negara di kawasan Asia antara lain Afganistan, Sri Lanka, dan Bangladesh sebagai negara yang mengalami kondisi krisis ketahanan pangan.
Indonesia perlu mempersiapkan diri supaya mandiri mencukupi pangan dalam negeri dan tidak bergantung kepada impor. Sejatinya program food estate layak didukung sebagai rencana jangka panjang Indonesia karena selain menjaga persediaan bahan pangan dalam negeri, bisa dimanfaatkan sebagai sektor yang dapat memberikan nilai tambah untuk PDB, mengingat beberapa negara sudah mengalami krisis pangan maka Indonesia dapat menjual sebagian hasil panen kepada negara lain.
Sekali lagi, membahas soal pertanian yang hasilnya kurang memuaskan perlu melihat dari berbagai sudut pandang yang luas karena langkah-langkah di atas belum sepenuhnya mampu menjawab kenapa Indonesia tidak bisa se-agraris dulu. Pembenahan dari sisi kebijakan perlu dikaji ulang seperti regulasi cadangan stok beras Indonesia saat ini hanya 8% bisa ditambah lagi lebih besar supaya mampu meng-cover jika terjadi gagal panen. Disamping itu tidak kalah penting adalah mencoba mengubah perilaku masyarakat yang hampir 97% mengonsumsi beras beralih mengkonsumsi bahan panga alternatif seperti umbi-umbian tentu tidak mudah. Namun tidak ada salahnya mencoba, karena tidak selamanya manusia harus terus bergantung kepada beras.
Penulis: Dicky Andriyanto - Dosen Prodi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Airlangga