Oleh :
Tri Siwi Agustina
Dosen Program Studi Manajemen dan Ketua Pusat Kewirausahaan dan Relasi Industri Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga
Hampir 3 minggu terakhir, dunia kuliner jagat tanah air diramaikan dengan viralnya Restoran Karen’s Dinner. Rumah makan ini memang berkonsep berbeda dengan rumah makan pada umumnya yang para pelayanannya dituntut untuk melayani pembeli dengan ramah dengan wajah berseri-seri serta cekatan demi memuaskan pelanggan. Restoran ini justru dicirikan dengan para pelayan yang judes , melayani dengan melontarkan kata-kata yang pedas pada pelanggan serta bersikap malas – malasan. Sontak dalam waktu singkat, respon pro dan kontra dari masyarakat mengomentari pelayanan restoran yang mengabaikan semboyan “Pembeli adalah Raja” tersebut.
Hingga saat ini, pro dan kontra masih belum berakhir, namun akhir- akhir ini pemberitaan restoran tersebut beralih pada pengunjung yang malah sudah siap untuk menghadapi kejutekan para pelayan. Jika para pelayan di “warning” untuk tidak melakukan body shaming adu mekanik (contohnya : membanting atau sengaja memecahkan peralatan makan) dan perundungan pada pelanggan. Sebaliknya, bagaimana dengan pelanggan ? dari mana kontrolnya untuk tidak melakukan body shaming , tidak melakukan adu mekanik bahkan perundungan pada para pelayan?. Bahkan pada salah satu tayangan Youtube di Channel Nadya Alaydrus, Bella, salah seorang pelayan rumah makan yang sedang viral tersebut , menceritakan bahwa temannya ada yang mengalami perundungan dari pengunjung pada saat mereka bekerja.
Ditinjau dari sisi etika bisnis, tentunya hal ini akan berurusan dengan hal etis yang seharusnya menjadi kewajiban perusahaan pada karyawan. Tanggung jawab etis tidak hanya cukup pada memberikan gaji atau upah, namun juga kewajiban menjaga kesehatan fisik dan mental para pekerjanyanya. Tulisan ini bermaksud untuk menggugah para pengusaha atau calon pengusaha , karena sudah jamak di Indonesia apabila ada bisnis yang berhasil dan popular di media masa maka akan ditiru. Oleh karena itu agar tidak asal “copy paste” konsep bisnis rumah makan tersebut, perlu dipertimbangkan sisi pekerja terutama pelayan yang menjadi aktor utama dari keunikan bisnis restoran. Jangan sampai terjadi, keuntungan yang diraih pemilik bisnis tidak diimbangi dengan kesejahteraan karyawan dari sisi kesehatan mental. Bagi pemilik bisnis, bisa saja berpikir simple, jika pengunjung sudah jenuh dan habis rasa penasaran akan layanan yang unik dari restorannya, maka mereka dapat dengan mudah mengganti proses bisnisnya atau berpindah ke kota lain. Namun bagaimana nasib pekerja yang sudah terlanjur tidak dapat membedakan emosi yang menyertai perannya di tempat kerja dengan emosi yang sebenarnya (felt emotion) serta dampaknya pada diri mereka dan juga orang – orang disekitarnya ?.
Kerja Emosional dan Disonansi Emosional
Kerja emosional umumnya dialami oleh para pekerja di garda depan (frontliners) seperti customer service, kasir, resepsionis, perawat, pelayan, supir dan lain sebagainya. Tantangan yang dihadapi adalah ketika mereka harus menampilkan satu emosi (misal ingin marah atau kesal terhadap pelanggan) sementara secara bersamaan merasa harus menunjukkan wajah yang ikhlas disertai dengan senyum mengembang agar pelanggan puas dan mau datang kembali. Kesenjangan emosi yang demikian dikebal sebagai disonansi emosional. Demikian juga dengan para pekerja pelayan di rumah makan tersebut dimana mereka harus berperan antagonis pada pelanggan namun tidak boleh terpancing amarah dalam menjalankan pekerjaannya. Disonansi emosional yang tidak dikelola dengan baik akan berimbas pada individu itu sendiri misalnya : frustasi, uring – uringan, kemarahan tanpa sebab, murung, menarik diri dari lingkungan kerjanya, adanya perubahan sikap dari terbuka menjadi tertutup serta keinginan untuk menyudahi pekerjaan atau resign yang akhirnya menyebabkan kelelahan emosional (emotional exhaustion) dan gangguan mental. Yang dikhawatirkan dari pekerja restoran yang berkonsep seperti ini, kelelahan emosional itu muncul pada saat melayani pelanggan sehingga batasan peran yang mereka jalankan menjadi kabur.
Belajar dari kondisi tersebut, sudah seharusnya apabila pemilik usaha sebelum menentukan konsep bisnis serupad aware dengan dampak yang ditimbulkan. Pertanyaan – pertanyaan seperti ” bagaimana tanggung jawab mereka terhadap kesehatan mental para pelayan restorannya ?” , ” Pendekatan – pendekatan apa yang harus ditempuh ” harus mereka pikirkan. Bukankah mereka sama dengan pekerja lain yang memainkan peran saat menjalankan pekerjaannya ? yang harus pandai mengelola emosi mereka disaat bekerja demi untuk memuaskan pelanggan. Niscaya, membantu pekerja menghadapi konsekuensi dari kerja emosional akan dapat meningkatkan moral pekerja dan mengurangi keinginan pekerja untuk meninggalkan organisasi.
Pendekatan yang dapat dilakukan
Berikut adalah beberapa pendekatan yang dapat digunakan manajemen restoran untuk membantu pekerja mereka menghadapi tuntutan kerja emosional :
1. Mensosialisasikan konsep bisnis sejak proses rekrutmen. Pada saat mengumumkan pada masyarakat bahwa restoran tersebut akan membuka lowongan pekerjaan, hendaknya sudah diberikan gambaran konsep bisnis restoran tersebut, bahwa konsep “judes” pada kastemer adalah merupakan “hiburan” yang bertujuan memberikan “experience” yang berbeda dari konsep restoran pada umumnya. Dengan mengetahui gambaran tentang konsep bisnis restoran, diharapkan calon pelamar sudah mengetahui tuntutan pekerjaan dan menyiapkan energi baik fisik dan mental untuk menjalankan pekerjaan tersebut.
2. Menjaring melalui proses seleksi. Seleksi bertujuan untuk mencari pekerja yang sesuai dengan persyaratan pekerjaan diantara sekian banyak pelamar. “Mampu atau tidak pelamar tersebut menjalankan perannya ? ” Berbagai tools dapat dilakukan untuk menguji ketahanan mental serta kecenderungan kesehatan mental dalam jangka panjang dari calon pekerja.
3. Membentuk kesiapan mental pada masa orientasi. Orientasi dilakukan untuk mengenalkan pekerja baru pada organisasi tempat ia bernaung dan juga pada pekerjaannya. Pada masa ini organisasi dapat menegaskan kembali konsep bisnis mereka, tata tertib yang harus dipatuhi oleh karyawan, misal sikap tidak ramah pada pengunjung adalah pada saat pelayanan yang tujuannya sekali lagi adalah memberikan “experience” yang berbeda dari restoran lain. Belajar dari Karen’s Dinner, manajemen restoran tersebut melakukan strategis untuk melindungi para pelayan restoran dan juga menjaga privasi pengunjung yang lain dengan memberikan peraturan tertulis dan aktif mengingatkan pengunjung sebelum masuk tentang keunikan konsep bisnis restorannya, sehingga diharapkan pengunjung tidak mudah terpancing emosi, melakukan body shaming atau adu mekanik namun fokus pada makanan dan minuman yang dihidangkan serta menikmati vibes dari restoran tersebut.
4. Aktif melakukan briefing dan pemanasan sebelum mulai bekerja. Momen briefing dilakukan untuk mempersiapkan mental dan fisik dari para pekerja serta para supervisor meng-update berbagai – informasi terbaru terkait dengan berbagai program baru, perubahan harga, termasuk juga mengingatkan kembali pada para pelayan tata tertib dalam pelayanan agar tidak mudah terpancing emosi. Sedangkan pemanasan dilakukan sebagai cara untuk men-switch emosi baik ke emosi marah – marah. Sebaliknya selesai bekerja pun juga harus dilakukan sesi “cooling down” di akhir shift atau setelah closing. Hal ini dilakukan untuk mencegah emosi negatif terbawa sampai pulang.
5. Mempermudah akses pekerja untuk menyampaikan aspirasinya. Sebenarnya saat briefing, dapat digunakan oleh pekerja untuk menyampaikan unek – unek yang dialaminya, namun seringkali briefing dilakukan dalam waktu singkat sebelum pekerjaan di mulai sehingga akan terbatas waktu. Oleh karena itu, penyampaian informasi, aspirasi pekerja dapat dikomunikasikan melalui WhatsApp Group atau Telegram. Apabila informasi tergolong ringan dan sedang dapat ditindaklanjuti melalui briefing, namun apabila informasi tergolong berat dan perlu tindak lanjut yang harus diputuskan dengan kehati-hatian maka dapat ditindaklannjuti melalui meeting khusus.
6. Lakukan meeting segera apabila terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh pelanggan. Kasus – kasus perundungan pada pelayan harus segera ditangani dan diambil tindakan, Tidak semua orang yang mengalami perundungan akan sanggup terbuka atas kejadian yang menimpa mereka. Manajemen restoran harus membudayakan keterbukaan pada pekerja agar mereka berani “speak up”, menghargai kemauan mereka untuk mengungkap fakta dan merahasiakan informasi tersebut pada kalangan umum untuk menjaga privasi mereka. Oleh karena itu manajemen restoran juga harus memiliki tahap demi tahap tindak lanjut untuk melindungi pekerjanya. Misalnya : mengaktifkan peran leader / supervisor untuk melakukan coaching pada pekerja tersebut untuk membantu pekerja menyelesaikan masalah yang dihadapi sesuai dengan kemampuan yang ia miliki. Tentunya ini PR baru bagi manajemen restoran karena harus melatih para leader / supervisor untuk mampu bertindak sebagai “Coach”. Jika coaching yang dilakukan oleh leader / supervisor belum mampu mengembalikan kepercayaan diri maka organisasi dapat menyambungkan dengan psikolog. Selain itu perlu juga dipertimbangkan apabila harus menempuh langkah hukum seperti melaporkan pengunjung restoran pada pihak yang berwajib atas perbuatan yang tidak menyenangkan dan pelanggaran tata tertib.
7. Berkomitmen untuk memberikan hak libur maupun cuti pada pekerja. Umumnya saat ada restoran baru buka apalagi jika restoran ini viral, maka banyak masyarakat yang penasaran dan ingin mendatangi. Tentunya hal ini menjadi suatu berkah tersendiri bagi pemilik restoran, manajer berikut para pekerja restoran tersebut, namun alih – alih untuk meraup keuntungan di depan mata, sebaiknya dipikirkan juga hak pekerja untuk libur. Libur dapat digunakan oleh para pekerja untuk mengatasi kejenuhan bekerja dan menyegarkan kembali kondisi fisik dan mental karena tuntuan pekerjaan. Oleh karena itu, manajemen restoran harus berkomitmen untuk memenuhi hak pekerja yang mengajukan cuti atau menggunakan haknya untuk libur. Apabila restoran diperkirakan ramai pada hari – hari libur nasional maka hal tersebut dapat diantisipasi dengan pengaturan shift kerja dan pengaturan cuti. Bila perlu, di tahun – tahun awal pembukaan restoran, dalam jangka waktu 3 bulan sekali programkan untuk cuti bersama dan melakukan outing yang diikuti oleh semua pekerja, jajaran manajer dan juga pemilik restora agar kebersamaan semakin terasa , memperpendek jarak kekuasaan , memperbaiki komunikasi di tempat kerja dan menahan pekerja untuk tidak meninggalkan organisasi.
8. Budayakan untuk mengadakan Sesi Berbagi Pengalaman. Salah satu cara efektif untuk menolong pekerja berdamai dengan kerja emosional adalah melalui berbagai pengalaman. Rutinkan dalam 1 minggu sekitar 1 jam semua pekerja berkumpul untuk mendengarkan sharing pengalaman sesama pekerja tentang strategi-nya yang dianggap cukup efektif dalam menghadapi berbagai karakter pelanggan. Dengan diberikan oleh sesama pekerja yang ruang lingkup pekerjaannya sama menimbulkan optimisme bahwa mereka dapat mengatasikendala serupa dalam pekerjaannya dan diyakini dapat menekan terjadinya kelelahan emosional di kemudian hari.
9. Mengintegrasikan kerja emosional dengan penilaian kinerja. Untuk menghargai effort para pekerja dalam mengelola emosinya,organisasi dapat memasukkan unsur kemampuan mengelola kerja emosional serta komitmennya dalam melayani pelanggan pada penilaian prestasi kerja karyawan. “Bagaimana mereka menghadapi pelanggan yang marahnya tidak wajar ?”, “Bagaimana sikap mereka pada rekan sekerjanya diluar jam bekerja” , “Sejauh mana mereka mampu toleran dan tidak mudah terpancing emosi menghadapi pelanggan ?”. Apresiasi berupa penghargaan dan insentif dapat diberikan pada para pelayan yang menunjukkan kecerdasannya dalam mengelola kerja emosinya. Penilaian kinerja para pekerja restoran dapat diberikan dalam bentuk Penghargaan Karyawan Terbaik setiap bulan (Employee of the Month) atau Penghargaan Karyawan Terbaik Tahunan ((Employee of the Year).
Sekali lagi, semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat dijadikan pertimbangan bagi para pengusaha kuliner dan jajaran pengelolanya (khususnya restoran) untuk tidak asal latah , copy paste dan lebih berhati-hati menentukan konsep bisnis yang akan diterapkan.
https://www.harianbhirawa.co.id/pengusaha-kuliner-jangan-asal-copy-paste/