INDONESIA sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia memiliki potensi ekonomi keumatan yang besar. Hal ini setidaknya tampak dengan kemunculan berbagai instrumen keuangan islami. Baik yang bersifat komersial seperti perbankan syariah, pasar modal syariah, takaful, dan lainnya serta yang bersifat sosial seperti zakat dan wakaf.
Terkhusus mengenai wakaf, masih terdapat kesenjangan antara potensi dan realisasi. Potensi ini tecermin dari luas tanah wakaf di seluruh Indonesia yang mencapai 52.583,45 hektare dan tersebar di 392.884 lokasi, sebagaimana dapat dilihat dalam laman Sistem Informasi Wakaf (Siwak) Kementerian Agama RI.
Selain wakaf tanah, saat ini telah dikenal instrumen wakaf uang. Yaitu, aset wakaf berupa uang tunai yang dikelola secara berkelanjutan pada usaha-usaha produktif. Data yang ada menunjukkan bahwa potensi wakaf uang di Indonesia mencapai Rp 180 triliun per tahun. Realisasi dan pengelolaan potensi wakaf di atas, apabila dapat dioptimalkan, seyogianya dapat membawa kondisi sosio-ekonomi bangsa jadi lebih baik. Hal ini sejalan dengan amanat pasal 22 dari Undang-Undang No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, bahwa manfaat dari pengelolaan wakaf diarahkan untuk program dakwah, pengentasan kemiskinan, penyediaan layanan esensial seperti pendidikan dan kesehatan, serta pemberdayaan ekonomi umat.
Namun demikian, realisasi di lapangan belum sepenuhnya sesuai dengan potensi yang ada. Kementerian Agama mencatat, realisasi wakaf uang secara rata-rata tahunan sejak 2011 hingga 2018 sebesar Rp 31,9 miliar. Selain itu, wakaf tanah yang diinformasikan di Siwak hanya terbatas pada penggunaan sosial keagamaan. Seperti masjid, madrasah, dan makam.
Indeks literasi wakaf (ILW) yang dirilis Kementerian Agama pada 2020 juga masih berada di angka 50,48 atau kategori rendah. Dengan kata lain, literasi masyarakat Indonesia tentang wakaf masih minim. Hal ini menunjukkan bahwa wakaf masih memiliki ruang potensi yang sangat luas untuk digali dengan prasyarat literasi masyarakat akan wakaf yang harus ditingkatkan serta pengelolaan wakaf yang diarahkan pada pengelolaan yang produktif.
Berkaitan dengan hal di atas, pemerintah, dalam hal ini presiden Republik Indonesia, meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) pada 25 Januari 2021. GNWU perlu mendapatkan apresiasi sebagai bentuk keseriusan pemerintah untuk mengembangkan sektor perwakafan di Indonesia. Kelembagaan wakaf di Indonesia yang telah dilengkapi dengan regulasi perundang-undangan (UU Wakaf dan peraturan turunannya) serta lembaga negara khusus mengenai wakaf (BWI) harus diiringi dengan sosialisasi di masyarakat agar praktik perwakafan semakin masif dikenal dan dilaksanakan masyarakat.
Namun, satu hal yang menurut penulis perlu menjadi perhatian bersama, GNWU harus diiringi mekanisme yang terstruktur agar bisa mencapai tujuannya. Hal ini mengingat gerakan dengan nama yang sama telah diluncurkan pemerintah pada 8 Januari 2010 lalu, juga dengan tajuk GNWU. Akan tetapi, dalam pandangan penulis, GNWU kala itu belum menampakkan hasil yang kita harapkan.
Ada beberapa hal yang menurut penulis perlu dilakukan agar GNWU yang dicanangkan pemerintah tahun ini dapat berjalan optimal. Pertama, perlu pembagian kerja yang jelas antara pemangku kepentingan (stakeholder) bidang perwakafan. Kesuksesan GNWU tidak dapat dibebankan pada satu entitas semata. Namun harus menjadi komitmen bersama pemerintah pusat, BWI, hingga masyarakat luas sebagai wakif, nazhir yang mengelola wakaf, hingga ulama dan akademisi sebagai pihak yang memiliki pengetahuan di bidang wakaf.
Kedua, GNWU tidak sebatas menjadi kegiatan yang gegap gempita di awal peluncurannya. GNWU harus memiliki kegiatan turunan pasca peresmian, khususnya menggandeng masyarakat, sehingga pengenalan wakaf melalui GNWU betul-betul dapat terwujud. Kegiatan tersebut dapat berupa ceramah keagamaan, konten di media sosial, hingga penyediaan layanan berwakaf yang dapat dilakukan melalui gawai. Selain itu, GNWU harus mendapatkan sambutan yang baik dari pemerintah daerah. Perwujudannya bisa melalui kegiatan turunan yang melibatkan unsur pemerintahan daerah dan melibatkan masyarakat luas.
Ketiga, kesuksesan GNWU ditentukan oleh mekanisme evaluasi yang transparan dan akuntabel. Belajar dari kasus GNWU 2010, minimnya pemberitaan pasca peresmian GNWU dapat terlihat dari ketiadaan ukuran yang menjadi bukti sukses atau tidaknya gerakan tersebut. Oleh karena itu, pengukuran indeks literasi wakaf (ILW) yang telah dilakukan Kementerian Agama pada 2020 harus dilanjutkan secara rutin, sehingga perkembangan literasi wakaf di masyarakat dapat terus terpantau dari waktu ke waktu.
Selain itu, basis data statistik perwakafan perlu diperbaiki. Di antaranya mencakup perkembangan aset dan surplus wakaf produktif, realisasi wakaf uang dan pengelolaannya dari waktu ke waktu, dampak pengelolaan wakaf bagi kondisi sosio-ekonomi masyarakat, dan sebagainya. Indeks wakaf nasional (IWN) yang diinisiasi tim riset gabungan Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, dan Institut Teknologi Bandung juga dapat menjadi ukuran yang diadopsi untuk dapat mengevaluasi perkembangan perwakafan, sebagaimana indeks zakat nasional (IZN) yang telah diadopsi pada sektor perzakatan.
GNWU yang diluncurkan pemerintah harus dilihat sebagai ikhtiar bersama menuju Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah dunia. Namun, belajar dari GNWU terdahulu pada 2010, perlu suatu mekanisme untuk memastikan bahwa GNWU tahun 2021 ini dapat mencapai tujuannya, yakni menggelorakan semangat berwakaf di masyarakat. Dan, yang lebih penting, GNWU harus menjadi titik tolak menuju perwakafan Indonesia yang berdampak positif bagi pembangunan masyarakat, sebagaimana tinta emas wakaf pada masa kejayaan peradaban Islam. (*)
*) Raditya Sukmana, Guru Besar Ekonomi Islam dan Ketua Program Studi S-3 Ekonomi Islam Universitas Airlangga