Oleh: Tri Siwi Agustina
Pusat Kewirausahaan dan Relasi Industri Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga
Di tengah gelombang Covid-19 kedua ini, minggu lalu, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan bermaksud melakukan uji coba layanan telemedisin gratis untuk pasien Covid-19 tanpa gejala dan bergejala ringan yang sedang melakukan isolasi mandiri dengan menggunakan 11 aplikasi telemedisin.
Telemedisin diharapkan dapat membantu pemerintah untuk memutus rantai penularan Covid-19 karena masyarakat yang sedang menjalani isolasi mandiri untuk dapat berkonsultasi dengan dokter tanpa harus melalui tatap muka, tak hanya itu pasien juga bisa langsung membeli obat berdasarkan resep digital yang dikirimkan dokter setelah sesi konsultasi karena berbagai aplikasi telemedisin juga terhubung dengan instalasi farmasi yang siap menyediakan obat sesuai dengan kondisi pasien.
Kehadiran inovasi layanan kesehatan ini tentunya sangat bermanfaat bagi masyarakat, mengingat terjadi lonjakan kasus Covid-19 saat ini yang mengakibatkan rumah sakit kewalahan dalam menerima pasien terkonfirmasi Covid-19. Oleh karena itu, tidak heran apabila ada rumah sakit pemerintah maupun swasta yang menangkap peluang telemedisin dengan sasaran masyarakat yang sedang menjalani isolasi mandiri. Mulai dengan membuat aplikasi sendiri sehingga data pasien tersimpan dari mulai mendaftar saat melakukan tes antigen atau PCR baik walk –in maupun home service hingga menyediakan paket – paket layanan isolasi Mandiri berupa telekonsultasi dengan dokter spesialis dan dokter umum selama 24 jam, pemantauan klinis oleh tim farmasi.
Telemedisin mencakup banyak bidang dalam sistem kesehatan, seperti telekonsultasi (pemberian konsultasi yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang kompeten; Telefarmasi yaitu pemberian resep dan obat; serta yang terbaru adalah layanan rujukan pasien melalui Sistem Informasi Rujukan Terintegrasi Nasional (SISRUTE) milik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Secara umum, peluang bisnis telemedisin terbuka lebar di Indonesia, pertama adalah populasi penduduk di Indonesia yang besar. Dikutip dari Bisnis.com (2020), Caroline Caroline Clarke, Market Leader and EVP Philips Asian Pacific,menyatakan bahwa bisnis telemedisin berpeluang besar pada negara dengan populasi yang besar seperti di Indonesia. Saat ini Indonesia merupakan terbesar ke-4 di dunia . Kedua, Indonesia merupakan negara kepulauan, keberadaaan bisnis ini tentunya akan sangat membawa manfaat bagi 269 juta masyarakat Indonesia yang tersebar di 17,504 pulau. Layanan telemedisin dapat membantu pemerintah meningkatkan pelayanan kesehatan kepada warganya, khususnya menjangkau wilayah – wilayah yang sulit dijangkau dan memiliki akses terbatas. Ketiga, aplikasi telemedisin dapat mempersempit kesenjangan persebaran fasilitas kesehatan di Indonesia, karena dengan jumlah penduduk 267 juta jiwa, Indonesia hanya mempunyai 10.168 puskesmas, 2.877 Rumah Sakit, 9.205 klinik dan 30.260 apotek. Menilik kenyataan persebaran fasilitas kesehatan di Indonesia tersebut, rasanya tidak dapat dielakkan kebutuhan telemedsin di Indonesia bagi penanganan Covid-19 mutlak diperlukan. Penyedia jasa telemedik Halodoc mencatat jumlah unduhan aplikasi mereka meningkat dua kali lipat pada 2020 dibanding 2019. Kini ada 18 juta pengguna aktif yang terdaftar. Selain itu, jumlah pembaca artikel di aplikasi tersebut pun naik dua kali lipat. Layanan yang paling diminati masyarakat, antara lain, konsultasi daring dengan dokter, konsultasi psikologi, dan tes Covid-19 (Kompas, 2021)
Selain peluang, terdapat tantangan bisnis telemedisin saat pandemi Covid-19 di Indonesia diantaranya adalah pada kebiasaan masyarakat, ketersediaan sarana dan prasarana, payung hukum dari penyelenggaraaan telemedisin di Indonesia, budaya administrasi dalam menekan penggunaan kertas.
Pada masyarakat, tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak masyarakat yang berupaya mengobati dirinya sendiri dengan meracik sendiri ramuan –ramuan yang dipercaya secara turun temurun sebagai obat. Memang hal tersebut tidak sepenuhnya salah apabila ditujukan untuk meningkatkan imunitas namun apabila kondisi kesehatan saat isoman sudah semakin parah tentunya akan terlambat untuk mendapatkan pertolongan medis. Hal lain adalah budaya masyarakat yang lebih mendengarkan kata orang daripada penjelasan oleh tenaga medis. Selain itu dari sisi penguasaan teknologi, belum seluruh masyarakat Indonesia “melek teknologi”, terutama kaum lanjut usia yang apabila ada keluhan kesehatan terbiasa berinteraksi langsung dengan tenaga medis.
Lonjakan jumlah pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 di satu bulan terakhir tidak sebanding dengan ketersediaan tenaga medis terutama dokter. Hal ini tentu menjadi tantangan , bagaimana operasional telemedisin dapat tetap melayani masyarakat di tengah kekurangan jumlah dokter. Selain itu ketersediaan infrastruktur seperti jaringan internet dan tersebarnya pasokan listrik mutlak diperlukan untuk menjamin bahwa masyarakat yang sedang isolasi mandiri di daerah terpencil maupun perbatasan tetap dapat mengakses layanan telemedisin. Demikian halnya dengan ketersediaan listrik, jangan sampai layanan telemedisin hanya bisa diakses saat listrik menyala di malam hari.
Ditinjau dari sisi perlindungan hukum bagi para stakeholder bisnis aplikasi Telemedisin yaitu : tenaga medis dan pasien. Pemerintah melalui peraturan menteri kesehatan (Permenkes) No. 20 Tahun 2019 terkesan masih “ambigu” dalam beberapa hal, merujuk ulasan Rifa Fauziyah (2020) pada artikelnya yang berjudul Telemedicine pada Masa Pandemi Covid-19 : Hambatan dalam Upaya Adaptasi menyatakan bahwa hambatan yang ditemui adalah terkait dengan pertama dalam hal kerahasiaan percakapan pasien dan dokter. Kerahasiaan data pasien ini tentunya perlu dijaga karena rawan menimbulkan penyalahgunaan data. Kedua, belum ada peraturan resmi yang jelas menentukan berbagai hal tentang bentuk rekam medis elektronik. Ketiga, terkait dengan batasan obat-obat yang boleh diberikan secara daring (tanpa memeriksa pasien) yang rawan menimbulkan penyalahgunaan. Keempat. perlindungan atau asuransi bagi tenaga . Keempat adalah perlindungan atau asuransi bagi tenaga medis dalam praktik online sejauh ini belum tersedia. Misalnya untuk melindungi dokter dari tuntutan tertentu padahal sudah bekerja sesuai dengan standar prosedur. Keempat hal tersebut diatas perlu segera diatur untuk menjaga keamanan data dan keselamatan pasien serta menjaga kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga medis.
Budaya dalam hal administrasi yang masih mengandalkan dokumen fisik perlu diminimalkan. Meskipun data pasien sudah tersimpan di aplikasi telemedisin, apabila dokter memberikan rujukan pada rumah sakit, hendaknya data itu sudah terintegrasi pada semua instalasi rumah sakit. Pasien tidak perlu lagi harus mengisi informasi yang sama secara manual, hal tersebut juga ditujukan untuk memutus rantai penularan Covid-19 melalui media kertas.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, mengamanatkan, bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. Menilik tantangan yang dihadapi dalam penerapan telemedisin, upaya pemerintah untuk menekan jumlah kasus harian positif Covid-19 dengan menyediakan sejumlah telemedisin perlu diapresiasi meski masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Kolaborasi banyak pihak sangat diperlukan. Tak lupa keseriusan dan itikad baik dari pemerintah dan legislatif sebagai penentu kebijakan. Semoga Indonesia segera pulih dan bebas dari Covid-19.