Oleh: Imron Mawardi
Pesantren kini jadi perhatian banyak pihak. Bukan dari sisi pendidikannya saja, tapi justru dari sisi potensi ekonominya. Jumlahnya yang mencapai lebih dari 28 ribu dengan jutaan santri dinilai memiliki nilai strategis untuk menggerakkan ekonomi. Berbagai lembaga pemerintah pun ramai-ramai menjadikan pesantren sebagai objek program ekonominya.
Bank Indonesia (BI), misalnya, punya program Kemandirian Ekonomi Pesantren. Bahkan, BI punya peta jalan 300 pesantren 2017-2025. Mulai dari pengembangan dan restruturisasi model bisnis usaha pesantren, standirisasi keuangan, hingga pengembangan platform virtual market pesantren. Bahkan, BI membuat pusat layanan unggulan dan holding bisnis pesantren di tingkat nasional hingga wilayah.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga punya program pengembangan ekonomi pesantren dan masjid lewat Program Gress. Begitu juga LPDB kini aktif membina pesantren dan menyalurkan pembiayaan dana bergulir ke pesantren. Di Jatim, 23 koperasi pesantren telah memperoleh pembiayaan itu.
Di Jatim, Pemerintah Provinsi punya program One Pesantren One Product (OPOP). Gubernur Khofifah menyebut OPOP adalah program unggulan Jatim untuk meningkatkan kesejahteraan dan ekonomi masyarakat. Saat ini, sekitar 200 dari 6.017 pesantren di provinsi ini sudah tergabung dalam program ini.
Tak salah menjadikan pesantren untuk menggerakkan ekonomi. Pesantren adalah institusi pendidikan yang sangat penting di Indonesia. Muncul sejak berabad-abad yang lalu (Muhtarom, 2005: 263-265), pesantren tetap eksis di tengah perubahan jaman yang cepat. Pada tahun 2020, Kementerian Agama RI mencatat jumlah pesantren di Indonesia mencapai 28.194. Sebanyak 6.017 di antaranya berada di Jawa Timur.
Banyak di antara pesantren tersebut telah berusia dua hingga tiga abad dan tetap eksis hingga sekarang. Di antaranya adalah PP Sidogiri Pasuruan yang berdiri tahun 1718, PP Miftahul Huda Malang 1768, PP Al-Hamdaniyah Sidoarjo dan PP Darul Ulum Banyuanyar tahun 1787, dan PP Termas Ponorogo tahun 1830.
Salah satu kunci sukses PP mempertahankan eksistensinya adalah dilakukannya transformasi orientasi menyesuaikan perkembangan jaman dan kebutuhan santri (Dhofier, 2010). Saat ini, tiga model pesantren tetap kokoh. Pesantren salaf (tradisional), pesantren khalaf (modern), dan pesantren terpadu atau campuran. Bahkan, jumlah terbanyak adalah pesantren salaf (Muhtarom, 2005: 265).
Salah satu kunci suksesnya adalah fleksibilitas pesantren yang luar biasa. Mengikuti tuntutan lulusan pesantren, pesantren berusaha membekali santri dengan pengetahuan, skill, dan teknologi (Isfannah, 2012). Kunci sukses yang lain adalah kemampuan pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan biaya murah. Ini pas dengan kebanyakan santri yang berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah, namun menginginkan pendidikan yang bagus.
Untuk keperluan itu, banyak pesantren menggali sumber pendapatan sendiri guna menyubsidi biaya operasional pesantren. Salah satunya adalah dengan mendirikan unit usaha pesantren. Banyak pesantren di Indonesia memiliki unit usaha. Bentuk dan jenisnya bermacam-macam. Dan sebagian besar belum dikelola secara professional.
Sebagian unit usaha pesantren dimiliki oleh pengasuh (kyai), meski hasilnya digunakan untuk menyubsidi operasional pesantren. Sebagian yang lain dimiliki oleh yayasan atau pesantren secara langsung. Dari sisi skala, sebagian besar adalah usaha mikro-kecil dan menengah. Sebagian besar dikelola seperti usaha rumah tangga. Sedikit di antaranya sudah dikelola secara professional dan berbadan usaha PT atau CV.
Kuncinya Tinggalkan Ego
Salah satu keunggulan pesantren dari sisi ekonomi adalah adanya captive market yang besar. Santri, keluarga santri, alumni dan keluarganya adalah pasar yang potensial bagi usaha pesantren. Apalagi bagi pesantren-pesantren besar dengan jumlah santri ribuan.
Ada puluhan pesantren di Jatim yang memiliki santri lebih dari 10 ribu. Contohnya saja PP Sunan Dradjat Lamongan, PP Al-Amien Sumenep, Gontor, Salafiyah Syafiiyah Situbondo, Lirboyo dan Al-Falah Kediri, An-Nur Malang, dan sebagainya. Potensi SDM-nya juga sangat besar, karena banyak santri bisa dibekali skill bisnis untuk mengelola.
Dengan captive market yang besar, seharusnya nilai ekonomi pesantren bisa dinikmati oleh kalangan pesantren sendiri. Di sinilah Program OPOP seharusnya bisa memetakan dan mengarahkan setiap pesantren bisa memiliki produk unggulan yang dibutuhkan oleh stakeholder pesantren. Antar pesantren bisa saling beli dan saling jual produk unggulannya, sehingga pasar pesantren dikuasai oleh pesantren sendiri.
Konsep ini sebenarnya sudah digagas dan diterapkan oleh BI Jatim. Sebanyak 17 pesantren besar di Jatim dijadikan sebagai pilot project. Mereka dibina dan disatukan dalam jaringan pesantren yang tergabung dalam Koperasi Sekunder Pesantren. Anggotanya adalah koperasi-koperasi primer pesantren.
Secara konsep, potensinya luar biasa. Sebagai contoh saja kebutuhan seragam santri. Pesantren yang memiliki santri 12 ribu, tiap tahun menerima 4 ribu santri baru. Kebutuhan seragam per santri sedikitnya lima, termasuk seragam olahraga. Artinya, kebutuhan tiap tahun mencapai 20 ribu seragam. Jika harga satu seragam Rp 50 ribu saja, maka nilainya mencapai Rp 1 miliar.
Dengan kolaborasi, maka seharusnya ada pesantren yang punya usaha unggulan konveksi yang memproduksi seragam. Ada yang usahanya produksi songkok, sarung, dan sepatu-sandal. Juga consumer goods seperti sabun mandi, sabun cuci, pasta gigi, dan sampo. Pesantren lain bisa memproduksi barang pertanian, beras, sayur, hingga peternakan dan perikanan.
Dari hitung-hitungan kasar, nilai ekonomi di satu pesantren per bulan mencapai miliaran. Anggaplah pengeluaran satu santri Rp 500 ribu sebulan, maka nilai ekonomi di pesantren dengan 10 ribu santri mencapai Rp 5 miliar. Padahal di beberapa pesantren, santri bisa menghabiskan Rp 1 juta hingga Rp 2 juta sebulan. Bisa dihitung berapa uang berputar di pesantren dengan jumlah santri hampir sejuta di Jatim.
Kunci sukses kolaborasi pesantren dalam OPOP ini ada pada ego masing-masing pesantren. Sebab, pesantren ibarat kerajaan-kerajaan kecil. Mereka asyik dengan kondisinya masing-masing, dan sulit untuk saling menyerahkan potensi pasarnya ke pesantren lain.
Untuk itu, perlu dibuatkan kelompok-kelompok pesantren dalam satu kesatuan usaha atau holding. Bisa juga dengan koperasi sekunder. Setiap pesantren menjual produknya dan membeli produk lain ke koperasi sekunder yang dimiliki bersama. Dengan begitu, keuntungan nantinya akan kembali ke masing-masing pesantren berdasarkan pada keaktifannya bertransaksi.
Selain itu, sebagian besar pesantren menerapkan kepemimpinan terpusat. Semua tergantung kiyainya. Atau gus-gus putra kiyai. Karena itu, agar sukses, semua program untuk pesantren, termasuk OPOP, harus melibatkan langsung kiyai atau para putranya. Setinggi apa pun jabatan santri tak akan berani mengambil keputusan tanpa persetujuan dari kiyai atau putra-putrinya.
Artikel ini tayang pertama kali di Harian DI’s way 08/04/2021, dengan judul “Gerakkan Ekonomi dengan “One Pesantren One Product” Direpublikasi di sini dengan seizin Penulis untuk tujuan pendidikan dan dakwah