MENINDAKLANJUTI arahannya beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Keppres Nomor 15 Tahun 2021 terkait dengan tim Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI). Diketuai Menko Kemaritiman dan Investasi, target utamanya ialah menjadikan produk lokal sebagai tuan rumah di negerinya.

Lesunya ekonomi menuntut pemimpin bisnis menarget pasar global dan Indonesia salah satu pasar terbesar dunia. Apalagi, konsumsi rumah tangga Indonesia signifikan kontribusinya dalam pertumbuhan ekonomi ataupun pendapatan domestik bruto. Pada triwulan II tahun ini, kontribusinya 55,07%. Turun tipis ketimbang 2019 (56,62%) dan 2020 (57,66%). Apa yang seharusnya dilakukan agar konsumen Indonesia menjadikan produk lokal sebagai pilihan utama?

 

Identitas nasional dan konsumsi

Identitas nasional dikarakteristikkan oleh perasaan, sikap, dan perilaku konsumen (baik individu maupun bangsa) (Carvalho dkk, 2019). Manifestasinya, bisa terkait dengan patriotisme (cinta dan loyal pada bangsa), etnosentrisme (superior terhadap bangsa lain), antipati pada bangsa lain, serta nasionalisme yang tinggi.

Bagi konsumen, mengonsumsi produk buatan negaranya ialah bentuk penguatan identitas nasional yang dimiliki. Semakin tinggi identitas nasional sebuah bangsa, kecintaan pada Tanah Air terfasilitasi dengan mengonsumsi produk dalam negeri. Konsumsi ini juga menjadi bentuk dukungan kepada anak bangsa agar pekerjaannya tetap ada untuk menghidupi keluarganya.

Sebelas tahun berturut-turut, Tiongkok menjadi pasar terbesar mobil di dunia. Merek lokal saat ini menguasai lebih dari 50%, hal yang tidak terbayangkan 20 tahun yang lalu. Persentase ini makin besar untuk produk-produk elektronik. Bahkan, untuk digital marketplace, pemain lokal menguasai lebih dari 80%.

Dengan program Made in China 2025, ditetapkan 10 industri strategis yang menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dengan penguasaan pasar domestik yang besar. Itu di antaranya robot untuk industri atau alat kesehatan berteknologi tinggi yang harus menguasai pasar domestik lebih dari 70%.

Bagaimana dengan Jepang? Sebagai produsen mobil terbesar ketiga di dunia, otomotif menjadi salah satu pilar ekonominya. Bahkan, 89% sektor manufaktur terkait dengan otomotif, dengan tenaga kerja hingga 5,5 juta orang pada 2020. Dari 4,5 juta mobil yang terjual tahun lalu, produsen non-Jepang memiliki pasar kurang dari 3%. Hal ini juga berlaku untuk produk elektronik, meskipun untuk smartphone kondisinya berbeda dengan 10 tahun sebelumnya.

Korea Selatan juga memiliki identitas nasional yang kuat dan memengaruhi pola konsumsi masyarakatnya. Untuk otomotif, duo Hyundai dan Kia menguasai lebih dari 82% pada 2020. Meningkat jika dibandingkan dengan masa sebelum pandemi, sebagai bukti dukungan pada keberlangsungan industri lokal, yang telah menopang perekonomian negara. Hal yang sama juga terjadi pada pasar smartphone, yakni Samsung menguasai hampir 65%. Meskipun LG hanya sepersepuluhnya, duo merek lokal ini menguasai 70%. Mengonsumsi produk lokal merupakan bentuk dari nasionalisme ekonomi, dengan identitas nasional sebagai pembentuknya.

 

Nasionalisme ekonomi

Populer pascakrisis ekonomi 2008, nasionalisme ekonomi meyakini pentingnya aktivitas perekonomian memenuhi tujuan bangsanya (Helleiner, 2020). Tidak mengherankan bila dekade terakhir banyak pemimpin negara yang terpilih mengedepankan nasionalisme ekonomi atau proteksionisme. Mempertanyakan manfaat globalisasi, peran negara perlu dihadirkan guna melindungi ekonomi dalam negeri dari kapitalisme global ialah agendanya.

Data perdagangan internasional yang dikelola Bank Dunia menunjukkan volume perdagangan internasional 2019 meningkat 2,89 kali jika dibandingkan dengan 2000. Negara yang memiliki surplus (ekspor lebih besar daripada impor) terbesar ialah Amerika Serikat. Surplusnya lebih dari setengah produk yang diimpor.

Volume perdagangan internasional Singapura 1,54 kali jika dibandingkan dengan Indonesia, dengan surplus 20% dari impor yang dilakukan. Menariknya, Tiongkok dengan status ‘pabrik dunia’, ternyata defisitnya mencapai 5,58 kali jika dibandingkan dengan volume ekspor Indonesia.

Meskipun demikian, terdapat tren dari Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan yang memiliki persentase defisit lebih rendah jika dibandingkan dengan 2000 ataupun 2010. Tren yang sama juga dialami Indonesia, yang menunjukkan bahwa nasionalisme ekonomi memang nyata adanya.

 

Rekomendasi

Pemulihan ekonomi setelah dua tahun terakhir terhambat covid-19 menjadi agenda utama semua pemimpin negara. Nasionalisme ekonomi tidak akan berarti apa-apa tanpa dukungan dari rakyat dengan mengonsumsi produk buatan dalam negeri. Apalagi, Indonesia memiliki ukuran pasar terbesar ke-7 dunia. Keunggulan ini tentunya bisa dimanfaatkan untuk percepatan pemulihan ekonomi nasional.

Besarnya pasar Indonesia memberikan jaminan skala ekonomi bagi perusahaan lokal untuk belajar, membangun kapabilitas, dan tumbuh (Malerba dkk, 2017) serta menjadi lokomotif pertumbuhan Indonesia.

Pasar domestik menjadi pijakan pertama bagi Korea Selatan awal 1990-an hingga awal 2000-an. Hal itu sehingga mampu melakukan technological catching-up dengan skala ekonomi yang cukup. Strategi yang sama dilakukan Jepang di awal 1960-an, sebelum mendominasi pasar otomotif dan elektronik dunia mulai 1980-an, atau upaya Tiongkok mulai awal 2000-an, guna menjadi produsen barang bernilai tambah tinggi dengan program Made in China 2025. Ketiga negara itu mampu membangun identitas nasional dengan baik. Identitas nasional inilah yang akan membentuk nasionalisme ekonomi sebuah negara tanpa adanya keberatan negara lain di WTO.

Gerakan bangga akan buatan Indonesia tidaklah cukup menggerakkan bangsa mengonsumsinya. Dibutuhkan upaya yang terstruktur, sistematis, dan masif untuk meningkatkan identifikasi konsumen Indonesia terhadap produk bangsanya, baik secara kognitif, emosional, maupun evaluatif. Hal ini bisa dilakukan bila kualitas produk Indonesia lebih unggul dengan harga yang bersaing jika dibandingkan dengan produk bangsa lain.