MANUSIA adalah sumber daya terpenting sebuah negara. Memiliki penduduk yang berusia muda (65% di bawah 40 tahun– Sensus Penduduk 2020), dengan market size terbesar ke-7 dunia, adalah modal besar Indonesia. SDM yang berkualitas akan memampukan Indonesia menjadi negara maju pada 2045.

Pembangunan SDM telah menjadi prioritas pertama dan utama dari Presiden Joko Widodo. Awal bulan ini, Presiden Jokowi menegaskan bahwa SDM Indonesia harus menjadi trendsetter (dan bukan followers). Trendsetter tentu terkait dengan inovasi, dan kapabilitas berinovasi membutuhkan arah pembangunan SDM yang tepat. Pendidikan tinggi merupakan titik awalnya.

Bagaimana orkestrasi pendidikan tinggi agar SDM Indonesia menjadi trendsetter?

 

Pendidikan tinggi Indonesia

Berdasarkan Statistik Pendidikan Tinggi 2020, terdapat 29.413 program studi yang terselenggara di Indonesia. Program studi yang berbasis akademik masih mendominasi (88,33% atau 25.987 unit). Program studi terbanyak masih didominasi oleh bidang ilmu pendidikan (6.032 unit), diikuti teknik, sosial, kesehatan, dan ekonomi. Bidang ilmu pendidikan memiliki jumlah mahasiswa baru terbesar (435.986 orang), diikuti ekonomi, sosial, teknik, kesehatan, dan bidang ilmu lainnya.

Adapun lulusan perguruan tinggi terbesar berasal dari pendidikan (21,84%), diikuti oleh ekonomi (18,92%), teknik (16,02%), kesehatan (15,56%), sosial (13,95%), dan sisanya berasal dari bidang lain. Pertanyaannya, apakah popularitas program-program studi tersebut relevan dan sejalan dengan kebutuhan Indonesia saat ini dan masa depan?

 

Tren STEM

Banyak pemerintah memfokuskan pendidikan di negaranya berbasis STEM (science, technology, engineering, and mathematics). Menyadari kurangnya minat generasi muda pada bidang STEM, dan daya saing bangsanya terancam, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama menggulirkan program pada 2011 untuk mendidik 100.000 guru yang akan mengajar bidang STEM hingga 2021. Tentu disertai dengan komitmen pendanaan, tidak hanya dari pemerintah, tapi juga dari pihak swasta.

Melalui perdebatan publik yang hangat, baik pro maupun kontra, akhirnya UU Reformasi Pendidikan AS ditandatangani oleh Presiden Obama di akhir 2015, dengan penitikberatan pada pendidikan STEM. Tujuannya ialah bagaimana menjadikan generasi muda AS menjadi pemimpin pada bidang STEM.

Bagaimana dengan negara lain? Data Global Innovation Index (GII) 2021 menunjukkan, Korea Selatan menempati posisi teratas di Asia (#5 dunia), diikuti oleh Singapura (#8), Tiongkok (#12), dan Jepang (#13).

Hal ini tidak terlepas dari besarnya proporsi lulusan science and engineering yang dihasilkan. Misalnya, Singapura menempati peringkat 10 dunia, diikuti oleh India (#12) dan Korea Selatan (#18). Tidaklah mengherankan bilamana banyak CEO perusahaan teknologi dunia berasal dari India, atau produk teknologi tinggi dari Korea Selatan. Bagaimana dengan Indonesia? Kita menempati posisi ke-76 dunia.

 

Pelajaran dari Tiongkok

Tentu menarik mencermati peningkatan posisi Tiongkok menjadi ke-12 dari 132 negara (tertinggi pada kelompok upper middle-income countries). Sepuluh tahun yang lalu, posisinya masih ke-29. Ketika Abrami dkk (2014) menulis artikel berjudul ‘Why China Can’t Innovate’ di Harvard Business Review, sebagian besar meyakininya. Namun, lambat laun pasar digital, peralatan kesehatan, bahkan sustainable technologies mulai dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok.

Salah satu indikator GII 2021 ialah human capital and research. Dalam 25 tahun terakhir, Tiongkok secara serius meningkatkan kapabilitas berinovasinya, khususnya SDM, dengan mengembangkan perguruan tinggi (PT)-nya menjadi kelas dunia. Dimulai 211 Project pada 1995, C9 League, dan yang terbaru Double First-Class University Project dengan pendanaan besar. Hasilnya, di 2021 Tiongkok menempatkan 6 universitasnya pada Top 100 Times Higher Education World University Ranking. Universitas tertinggi dari Malaysia berada pada kisaran 301-350, sedangkan Indonesia berada di kisaran 801-1.000.

Data China Statistical Yearbook 2017 menunjukkan, 3 juta mahasiswa masuk program STEM, sekaligus menjadikannya sebagai salah satu negara dengan persentase terbesar pada bidang ini. Tidak hanya mengandalkan lulusan dari dalam negeri, tapi juga lulusan dari universitas-universitas berkelas dunia di negara maju. Dalam hal ini Pendekatan Tiongkok Plus dilakukan (Greeven dkk, 2019).

Sejak 1978, ada 4 juta penduduk yang sekolah di luar negeri dan 2,2 juta lulusan kembali ke Tiongkok. Haigui (diaspora yang kembali) menjadi pemain penting dalam ekosistem inovasi Tiongkok, dengan training yang didapat dari universitas-universitas terbaik dunia. Bahkan, sebelum kembali, mereka telah bekerja di beragam perusahaan kelas dunia, khususnya Silicon Valley, dan membawa model bisnis startup maupun best practices dari Fortune 500 ke domestik. Hasilnya, perusahaan domestik mampu bersaing dengan perusahaan kelas dunia dari negara maju.

Indikator selanjutnya ialah anggaran R&D yang dialokasikan tiap-tiap negara. Pembelanja terbesar ialah Amerika Serikat (US$491,86 miliar), diikuti oleh Tiongkok (US$471,70 miliar) dan Jepang (US$154,16 miliar). Adapun Indonesia hanya US$3,11 miliar (0,10% dari PDB). Hasilnya jelas, permohonan paten negara-negara tersebut jauh lebih unggul daripada Indonesia.

Jepang memiliki permohonan paten lebih dari 7.005 kali jika dibandingkan dengan Indonesia. Malaysia memiliki 90 kali dengan persentase anggaran R&D 13 kali lebih besar. Tiongkok menjadi pengusul paten terbesar dunia, mengalahkan AS. Pelajarannya, PT berkelas dunia yang menghasilkan SDM kompeten dan paten berkelas dunia, ditunjang anggaran R&D besar, menjadikan inovasi adalah keniscayaan.

 

Teknologi masa depan

Guna menjamin kepemimpinannya di bidang teknologi, program Made in China 2025 dilanjutkan dengan Created in China 2035 (semacam Repelita di Indonesia). Pemerintah juga menugasi 12 PT top untuk mengembangkan College of Future Technology.

Tugas utamanya ialah melakukan riset dan mengembangkan teknologi yang revolusioner dan disruptif pada 10-15 tahun ke depan. Keberadaannya ditargetkan mampu berkompetisi dengan Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Stanford University pada teknologi masa depan.

Teknologi kehidupan dan kesehatan menjadi fokus College of Future Technology pada Peking University. Keberadaannya berpusat pada 2 bidang interdisiplin, yakni teknik biomedik dan kedokteran molekuler. Bekerja sama dengan University of Cambridge dan MIT, South China University of Technology akan membuka 2 program studi baru, yakni artificial intelligence dan big data technology. Adapun Beihang University ditugaskan untuk mengembangkan School of Future Aerospace Technology. Pendirian College of Future Technology merupakan langkah awal guna mempersiapkan SDM Tiongkok menjadi unggul dalam teknologi masa depan.

Pendidikan adalah investasi jangka panjang, dan diperlukan orkestrasi sumber daya guna memperkuat positioning Indonesia sebagai trendsetter. Memilih, memilah, dan memodifikasi program studi yang ada, menugaskan pendirian program studi berorientasi masa depan, bahkan menutupnya bilamana kurang relevan adalah keharusan.

Belum tentu yang populer saat ini dibutuhkan lulusannya di masa datang. Memberikan visi jangka panjang pada pendidikan adalah keharusan, khususnya menunjang pencapaian Indonesia Maju 2045. Tentu, tanpa meninggalkan nilai-nilai kebangsaan. Industri strategis apa yang akan menjadi keunggulan Indonesia di masa depan dapat menjadi acuan. Dan, tentunya, komitmen pendanaan dalam jangka panjang memberikan kepastian serta keberlanjutan akan daya saing bangsa di masa datang.