Badri Munir Sukoco
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Airlangga

https://pasca.unair.ac.id/badri-sukoco

Harian Kontan – 20 Desember 2021
https://epaper.kontan.co.id/news/769735/Trendsetter-dan-Perusahaan-Kelas-Dunia

Awal Desember, Presiden Joko Widodo menegaskan Indonesia harus menjadi 𝑡𝑟𝑒𝑛𝑑𝑠𝑒𝑡𝑡𝑒𝑟 (dan bukan 𝑓𝑜𝑙𝑙𝑜𝑤𝑒𝑟𝑠). 𝑇𝑟𝑒𝑛𝑑𝑠𝑒𝑡𝑡𝑒𝑟 harus inovatif, dan menjadi budaya Indonesia untuk menyukseskan transformasi ekonomi dengan produk yang bernilai tambah tinggi. Inilah yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kelas dunia dengan menjadi 𝑡𝑟𝑒𝑛𝑑𝑠𝑒𝑡𝑡𝑒𝑟.

Bagaimana mengembangkan perusahaan-perusahaan kelas dunia yang menjadi 𝑡𝑟𝑒𝑛𝑑𝑠𝑒𝑡𝑡𝑒𝑟 global?

𝐈𝐧𝐝𝐞𝐤𝐬 𝐈𝐧𝐨𝐯𝐚𝐬𝐢

Data 𝐺𝑙𝑜𝑏𝑎𝑙 𝐼𝑛𝑛𝑜𝑣𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑥 (GII) 2021 menunjukkan Korea Selatan menempati posisi teratas di Asia (#5 dunia), diikuti oleh Singapura (#8), China (#12), dan Jepang (#13). Bagaimana dengan Indonesia? Kita menempati #76 dunia. Tidak heran, produk dari negara-negara tersebut tidak hanya menjadi raja di domestiknya, bahkan membanjiri dunia. Termasuk Indonesia. Tidak hanya otomotif, 𝑠𝑚𝑎𝑟𝑡𝑝ℎ𝑜𝑛𝑒, 𝑒-𝑐𝑜𝑚𝑚𝑒𝑟𝑐𝑒, 𝑓𝑎𝑠ℎ𝑖𝑜𝑛, bahkan makanannya juga menjadi trend di Indonesia.

Data lebih detail menunjukkan ekspor teknologi tinggi (produk dan jasa) yang dilakukan Korea Selatan mencapai 25% dari GDP-nya, sedangkan China lebih tinggi (29,9% dari GDP). Begitu juga persentase ekspor yang terkait ekspor barang budaya, China lebih besar 3x lipat dibandingkan Korea Selatan. Besarnya ekspor tersebut memperkuat poisisi di GII 2021 seiring dengan inovasi yang menjadi tren dan dikonsumsi di seluruh dunia. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab China meningkat posisinya China menjadi #12 (2021) dari #15 (2019). Bahkan tertinggi pada kelompok 𝑢𝑝𝑝𝑒𝑟 𝑚𝑖𝑑𝑑𝑙𝑒-𝑖𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒 𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡𝑟𝑖𝑒𝑠.

𝐏𝐞𝐫𝐮𝐬𝐚𝐡𝐚𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐨𝐯𝐚𝐭𝐨𝐫

Ekspor besar tersebut tidak terlepas dari andil banyaknya perusahaan yang melakukan inovasi di China. Meskipun banyak yang meragukan, karena sebagian besar melakukan 𝑐𝑜𝑝𝑦𝑐𝑎𝑡 pada produk negara maju di awal abad 21. Bahkan argumentasi kuat dibangun oleh Abrami dkk. (2014) di 𝐻𝑎𝑟𝑣𝑎𝑟𝑑 𝐵𝑢𝑠𝑖𝑛𝑒𝑠𝑠 𝑅𝑒𝑣𝑖𝑒𝑤 yang berjudul “𝑊ℎ𝑦 𝐶ℎ𝑖𝑛𝑎 𝐶𝑎𝑛’𝑡 𝐼𝑛𝑛𝑜𝑣𝑎𝑡𝑒.” Namun lambat laun hal ini terkikis oleh besarnya ekspor inovasi teknologi yang ada, mulai dari ℎ𝑜𝑚𝑒 𝑎𝑝𝑝𝑙𝑖𝑎𝑛𝑐𝑒𝑠 hingga 𝑠𝑢𝑠𝑡𝑎𝑖𝑛𝑎𝑏𝑙𝑒 𝑡𝑒𝑐ℎ𝑛𝑜𝑙𝑜𝑔𝑖𝑒𝑠 yang melegitimasi posisi pada GII 2021.

Kajian komprehensif yang dilakukan oleh Greeven, Yip, dan Wei (MIT Press, 2019) mengelompokkan 4 tipe inovator yang ada di China: 𝑝𝑖𝑜𝑛𝑒𝑒𝑟, ℎ𝑖𝑑𝑑𝑒𝑛 𝑐ℎ𝑎𝑚𝑝𝑖𝑜𝑛, 𝑢𝑛𝑑𝑒𝑟𝑑𝑜𝑔, dan 𝑐ℎ𝑎𝑛𝑔𝑒𝑚𝑎𝑘𝑒𝑟. Kelompok 𝑝𝑖𝑜𝑛𝑒𝑒𝑟 merupakan 𝑖𝑛𝑐𝑢𝑚𝑏𝑒𝑛𝑡 dengan pasar yang luas dengan penghasilan lebih dari US$10 miliar dan terkenal. Keberadaan 𝐵𝑎𝑖𝑑𝑢, 𝐴𝑙𝑖𝑏𝑎𝑏𝑎, dan 𝑇𝑒𝑛𝑐𝑒𝑛𝑡 dikenal seluruh dunia.

𝐻𝑖𝑑𝑑𝑒𝑛 𝑐ℎ𝑎𝑚𝑝𝑖𝑜𝑛 pasarnya sempit, namun pendapatannya besar (<US$5 miliar). Meskipun berstatus 𝑖𝑛𝑐𝑢𝑚𝑏𝑒𝑛𝑡, namun banyak orang belum mengenalnya (meskipun menggunakannya). Misalnya 𝐻𝑖𝑘𝑣𝑖𝑠𝑖𝑜𝑛 (kamera CCTV) atau 𝑀𝑖𝑛𝑑𝑟𝑎𝑦 (peralatan kesehatan).

Kedua kelompok terakhir adalah pendatang baru yang berfokus pada teknologi tinggi dan didirikan setelah 2010-an. 𝑈𝑛𝑑𝑒𝑟𝑑𝑜𝑔 dengan 𝑣𝑖𝑠𝑖𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑦 yang rendah memiliki pasar yang sempit, sehingga pendapatannya masih <US$60 juta. Misalnya 𝐺𝑒𝑛𝑒𝐶ℎ𝑒𝑚 untuk bioteknologi, 𝐽𝑢𝑧𝑖𝑥 untuk 𝑏𝑖𝑔 𝑑𝑎𝑡𝑎, dan 𝑈𝑛𝑖𝑛𝑎𝑛𝑜 untuk teknologi nano.

Terakhir, 𝑐ℎ𝑎𝑛𝑔𝑒𝑚𝑎𝑘𝑒𝑟 memiliki pasar massal sehingga memiliki 𝑣𝑖𝑠𝑖𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑦 tinggi, dan pendapatannya >US$1 miliar. Misalnya 𝑊𝑒 𝐷𝑜𝑐𝑡𝑜𝑟 untuk layanan kesehatan atau 𝐷𝑖𝑑𝑖 𝐶ℎ𝑢𝑥𝑖𝑛𝑔 untuk transportasi.

Dekade awal transformasi ekonomi China, pengusaha lebih banyak berafiliasi politis dan mengandalkan manufacktur, 𝑟𝑒𝑎𝑙 𝑒𝑠𝑡𝑎𝑡𝑒, atau keuangan. Keempat kelompok diatas juga mewakili generasi yang berbeda, namun semuanya berpendidikan universitas. Menariknya, changemaker mendapatkan sebagian besar suntikan modal ventura dari pendanaan perbankan China maupun kelompok 𝑝𝑖𝑜𝑛𝑒𝑒𝑟. Bagi 𝑝𝑖𝑜𝑛𝑒𝑒𝑟, suntikan modal ventura tersebut juga dapat menjadi diversifikasi agar masih relevan di masa datang, apalagi sama-sama menyasar pasar massal.

Barisan perusahaan inovator diatas menggambarkan fenomena bisnis yang mengutamakan inovasi dan teknologi sebagai keunggulannya. Lebih lanjut, Greeven dkk. (2019) menyampaikan terdapat 30-40 𝑝𝑖𝑜𝑛𝑒𝑒𝑟𝑠 yang berdampak global, dan antara 200-250 ℎ𝑖𝑑𝑑𝑒𝑛 𝑐ℎ𝑎𝑚𝑝𝑖𝑜𝑛𝑠. Lebih dari 15 ribu 𝑢𝑛𝑑𝑒𝑟𝑑𝑜𝑔𝑠, dan sebagian besar merupakan alumni dari kompetisi startup yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah maupun swasta. Dan juga lebih dari 50-an 𝑐ℎ𝑎𝑛𝑔𝑒𝑚𝑎𝑘𝑒𝑟𝑠 yang siap menjadi pemain global dalam waktu dekat. Barisan perusahaan 𝑐ℎ𝑎𝑛𝑔𝑒𝑚𝑎𝑘𝑒𝑟𝑠 ini telah beroperasi cukup lama dengan pengalaman dan reputasi yang terbangun. Merekalah lokomotif pertumbuhan ekonomi yang akan mengantarkan China menjadi negara maju dalam waktu dekat. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Chistensen, Ojomo, dan Dillon (2019, 𝑇ℎ𝑒 𝑃𝑟𝑜𝑠𝑝𝑒𝑟𝑖𝑡𝑦 𝑃𝑎𝑟𝑎𝑑𝑜𝑥) bahwa inovasi yang menciptakan pasar akan mengantarkan sebuah negara menjadi maju.

𝐑𝐞𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧𝐝𝐚𝐬𝐢

Mengacu pada 𝐹𝑜𝑟𝑡𝑢𝑛𝑒 𝐺𝑙𝑜𝑏𝑎𝑙 500 tahun 2021, Indonesia hanya diwakili oleh Pertamina (#287). Sedangkan pada 𝐹𝑜𝑟𝑏𝑒𝑠 𝐺𝑙𝑜𝑏𝑎𝑙 1000 untuk perusahaan publik, Indonesia diwakili oleh BRI (#362), BCA (#436), Bank Mandiri (#507), dan Telkom Indonesia (#762). Meskipun pasar domestik Indonesia terbesar ke-7 di dunia, sebagian besar dinikmati oleh perusahaan global negara lain.

Menjadi bangsa 𝑡𝑟𝑒𝑛𝑑𝑠𝑒𝑡𝑡𝑒𝑟 adalah keniscayaan bagi Indonesia untuk menjadi negara maju. Bukan saja tugas pemerintah dan BUMN, namun perusahaan swasta yang berdiri dan beroperasi di Indonesia juga harus mampu menghasilkan inovasi-inovasi yang menciptakan dan menggerakkan pasar.

Perlu kebijakan dan 𝑟𝑜𝑎𝑑𝑚𝑎𝑝 yang jelas agar perusahan-perusahaan Indonesia mampu memanfaatkan besarnya pasar domestik untuk bereksperimen dan berinovasi. Dan kesemuanya harus berbasis sains dan teknologi, karena itulah masa depan yang harus kita layani dan ciptakan menuju Indonesia Maju 2045.