Riset, Industri Strategis, dan Transformasi Ekonomi Indonesia
Badri Munir Sukoco
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga
Guru Besar Tamu, University of Skovde, Swedia

Dalam pidato pengangkatannya sebagai Presiden, Joko Widodo menyampaikan 5 isu strategis yang akan dilakukan oleh Kabinet Indonesia Maju. Salah satunya adalah tranformasi ekonomi. Berubah dari ketergantungan pada sumber daya alam menjadi manufaktur dan jasa modern yang berdaya saing dan bernilai tambah tinggi. Berdaya saing dengan nilai tambah tinggi merupakan kunci sukses bagi Indonesia untuk keluar dari middle income trap, visi yang dicanangkan Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024.

Richard Florida (2012) menyatakan bangsa akan berdaya saing dan bernilai tambah tinggi bila mampu mentransformasi ketergantungannya dari sumberdaya alam, murahnya pekerja, dan modal yang dimiliki menjadi creative economy. Tidak hanya terbatas pada teknologi, namun juga yang terkait dengan seni, budaya, atau layanan baru.

Masing-masing negara memiliki strategi dalam membangun creative economy-nya. Salah satunya adalah Korea Selatan, dimana sejak 1980-an mengembangkan industri musik dan filmnya, saat ini menghembuskan hallyu (demam Korea) ke seluruh dunia. Tidak hanya budaya, mereka juga superior dalam teknologi tinggi (digital communication dan ikutannya) maupun bedah plastik dengan bintang film dan musik sebagai endorser-nya.

Imbasnya juga terasa pada sektor pariwisata, melalui kunjungan 15,35 juta orang turis mancanegara (2018) yang tertarik dengan scenes dari drama Korea maupun konser boy-/girl-band yang lagi hits. Dengan spending rata-rata US$1,268 per turis, nilai ekonomi sektor pariwisata sebesar US$19,63 miliar (setara dengan Rp. 272,49 T atau sepersepuluh dari APBN Indonesia tahun 2020). Kondisi inilah yang menjadikan Korea Selatan terlepas dari middle income trap sejak tahun 2002 hingga sekarang.

Kesuksesan mereka tentu tidak datang tiba-tiba, namun melalui proses yang panjang dan komprehensif. Meskipun diawal mereka meng-imitasi Jepang (baik industri musik, film, maupun teknologinya), lambat laun inovasi yang dihasilkan menjadi acuan dunia. Tentu dukungan riset yang fokus pada topik tertentu dan hilirisasi yang terintegrasi dengan industri menjadi salah satu backbone keberhasilan creative economy mereka. Sebagai contoh, topik photocatalysis, artificial intelligence, dan cognitive radio menjadi topik riset terbanyak yang dihasilkan oleh Korea dalam 10 tahun terakhir. Hasilnya, World Intellectual Property Organization (WIPO) mencatat paten yang dihasilkan Korea terbanyak mengenai digital communication, diikuti oleh electrical machinery and energy, baru computer technology.

Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan oleh Indonesia agar produk lembaga riset maupun perguruan tinggi align dan mendukung transformasi creative economy Indonesia?

Riset di Indonesia
Salah satu key performance indicator (KPI) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) pada Kabinet Kerja 2014-2019 adalah menempatkan 5 perguruan tinggi (PT) Indonesia di Top 500 dunia. Indikator yang memiliki bobot terbesar pada 2 lembaga pe-ranking-an terpopuler, baik Quacquarelli Symonds (QS) atau Times Higher Education (THE), adalah kualitas riset yang terindeks pada database Scopus. Hal tersebut menjadi fokus utama dari Kemenristekdikti untuk meningkatkan kuantitas publikasi dari perguruan-perguruan tinggi di Indonesia.

Melalui Peraturan Menristekdikti no. 20 tahun 2017, semua guru besar dan lektor kepala diwajibkan publikasi pada jurnal-jurnal yang terindeks di Scopus. Bahkan Rektor pada PT yang ditargetkan masuk Top 500 dunia bergerak lebih dulu dengan mewajibkan semua lulusan S2 dan S3-nya memiliki publikasi di Scopus. Kondisi ini memancing banyak pro- dan kontra di kalangan civitas academica, namun Scopus-isasi tetap berjalan. Dengan insentif publikasi yang bervariasi namun menggembirakan, memudahkan Rektor dalam mengarahkan akademisinya untuk melakukan publikasi.

Hasilnya? Terdapat lonjakan publikasi yang luar biasa, khususnya pada PT Kluster 1 versi Kemenristekdikti. Lima perguruan tinggi (ITS, UNAIR, UB, UNDIP, dan UNS) menghasilkan 80% dari total publikasi sepanjang berdirinya dalam 5 tahun terakhir. Bahkan sekelas UI, ITB, dan UGM, >60% dari total publikasinya terjadi dalam 5 tahun terakhir. Meskipun sebagian besar masih mengandalkan proceeding yang terindeks di Scopus (>60% milik UNS, ITS, dan ITB), adapun UI mencapai >49% dari total publikasinya.

Mengejutkannya, belum ada fokus dari riset yang ada, dan tersebar dengan beragam topik. Lima besar topik riset yang dilakukan akademisi Indonesia (>1.000 publikasi) adalah Indonesia, Malaysia, Thailand; diikuti industry, research, marketing; algorithms, computer vision; students, science, and learning; dan corporate social responsibility and corporate governance. Topik-topik riset lainnya menarik dan penting, khususnya terkait teknologi, namun jumlahnya relative kecil. Beragamnya topik tersebut dikarenakan Pemerintah maupun PT membebaskan topik riset yang dilakukan, sepanjang bisa terindeks di Scopus.

Tentu ini berbeda dengan yang dilakukan negara lain, misalnya China. Sejak mencanangkan Made in China 2025, ditetapkan 10 industri strategis yang menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi agar terlepas dari middle income trap. Data Scival (database publikasi ilmiah dengan cakupan: +14.000 lembaga riset, +230 negara, +48 juta karya ilmiah pada 1.433 topik) menunjukkan bahwa pada 10 bidang tersebut, kuantitas publikasi ilmuwan China sangatlah dominan.

Untuk Artificial Intelligence, dihasilkan 95.722 karya ilmiah sepanjang 2009-2018 (sebagai perbandingan, semua topik karya ilmiah yang dihasilkan ilmuwan Indonesia pada periode yang sama sebesar 99.795 buah). AS menghasilkan 38.117 karya ilmiah, adapun India hanya setengahnya AS. Chinese Academy of Sciences (CAS) memiliki kontribusi terbesar, diikuti oleh Ministry of Education China (MOE-C), baru universitas-universitas yang ada (Tsinghua, Beihang dan lainnya). Saat ini, 3% dari karya ilmiah ilmuwan China digunakan oleh perusahaan. Tidaklah mengherankan paten yang diajukan oleh China terbesar pada bidang digital communication dan computer technology, dan total paten yang diajukannya 3 kali lipat dibandingkan yang diajukan oleh USA (sebesar 1.542.002 paten pada tahun 2018, WIPO).

Penutup
Apresiasi yang tinggi perlu diberikan kepada Menristekdikti periode sebelumnya, karena berhasil melakukan institusionalisasi budaya riset yang sebelumnya relatif terabaikan. Namun kondisi diatas juga menjadi tantangan bagi Menristek/BRIN baru untuk memberikan arah yang jelas dan terfokus agar riset yang dilakukan dan dihasilkan dapat menopang transformasi ekonomi Indonesia.

Saat ini, dana riset Indonesia terhadap GDP relatif rendah (0,25%). Sebagai perbandingan, pengeluaran R&D Cina mencapai 1,7% dari GDP (tahun 2010, dan AS memiliki 2,7%). China akan meningkatkan dana risetnya hingga 2,5% dari GDP-nya tahun 2020 (setara dengan US$387 miliar). Dengan dana riset belum terlalu besar dan hampir sepenuhnya mengandalkan pemerintah, sudah waktunya Menristek/BRIN mengarahkan topik riset yang akan menopang tumbuhkembangnya industri strategis baru andalan Indonesia di masa datang.

Industri strategis apa yang akan disasar dan memerlukan dukungan riset yang paripurna? Apakah topik riset yang hot saat ini perlu disasar oleh Indonesia (misalnya artificial intelligence, galaxies, MIMO systems dan lainnya) agar sitasi didapat dan martabat bangsa terangkat, namun peralatan dan relevansi terbatas?

Atau topik-topik riset yang relevan di masyarakat namun tidak seksi bagi editor top tier journals, sehingga impian menempatkan UI, ITB, atau UGM di Top 200 dunia menjauh?

Atau topik riset yang mengkompromikan semua pihak, semuanya boleh diteliti sepanjang pertanggungjawabannya (khususnya keuangan) dapat diterima?

Memang banyak pertanyaan yang perlu jawaban, namun pertanyaan utamanya perlu dikembalikan pada bidang riset apa yang akan mendukung transformasi ekonomi Indonesia yang berdaya saing dan bernilai tambah tinggi. Sebagaimana Michael E. Porter sampaikan, inti strategi adalah fokus pada aktifitas (dalam hal ini topik riset) tertentu menjadikan sebuah organisasi (bangsa) terhindar dari mediocrecity dan berdaya saing tinggi. 

 

Sumber : Republika (Opini), Rabu 13 November 2019