
(FEB NEWS) Di tengah pesatnya perubahan pola konsumsi media penyiaran, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB UNAIR) bekerja sama dengan JTV menggelar Focused Group Discussion (FGD) bertajuk “Navigating a Changing Media Landscape” pada Jumat (16/5), di Gedung ASEEC Lt. 4 (Ruang Rote), Kampus B, Surabaya. Acara ini menjadi wadah strategis bagi akademisi dan praktisi media untuk membahas berbagai tantangan sekaligus peluang dalam proses transformasi penyiaran di Indonesia. FGD ini menghadirkan pembicara utama Iman Brotoseno, Direktur Utama LPP TVRI, yang memaparkan pandangannya mengenai masa depan industri televisi di era digital.
Belakangan ini, isu pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri penyiaran menjadi perbincangan hangat, baik di media sosial maupun dalam percakapan langsung antarpekerja media. “Banyak dari mereka yang kehilangan pekerjaan dan menghubungi saya, berharap bisa bergabung ke platform kami, karena TV berbasis APBN dianggap kecil kemungkinannya melakukan PHK,” ujar Iman. Namun, jika PHK terjadi di televisi pemerintah, hal tersebut berpotensi menjadi isu besar di media sosial, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan tersebut serius dan tidak hanya terjadi di Indonesia. Di seluruh dunia, minat menonton TV mulai menurun, terutama sejak terjadinya disrupsi media. Posisi televisi dalam lanskap literasi media semakin terpinggirkan. Di Amerika Serikat, Nielsen mencatat bahwa penonton TV hanya tersisa 23%, sementara sisanya telah beralih ke layanan streaming. Di Indonesia, meskipun 56% masyarakat masih menonton TV pada tahun 2023, “Saya yakin angka itu sudah menurun di tahun 2024. Bahkan data menunjukkan bahwa penonton TV nasional berkurang sekitar 7% setiap tahunnya. Jika tren ini berlanjut, bukan tidak mungkin pada 2030 nanti, TV konvensional tidak lagi menjadi media utama. Jadi yang berubah itu bukan TV-nya, melainkan cara menontonnya,” jelas Iman.
Lantas, apakah ini berarti televisi akan punah? Tentu tidak. Yang berubah adalah pola konsumsinya. Televisi sebagai industri tetap eksis, namun cara orang mengakses kontennya telah bergeser. Kini, tayangan televisi dikonsumsi melalui YouTube, Facebook, dan berbagai platform digital lainnya. Aktivitas menonton pun tidak lagi bersifat kolektif, melainkan personal dan fleksibel. Hal ini menuntut industri televisi untuk terus beradaptasi. Media sosial kini bukan hanya saluran distribusi, melainkan juga menjadi sumber utama informasi. “Kalau kalian ingin tahu apa yang sedang ramai di luar sana, cukup buka Twitter atau TikTok selama satu jam,” ungkap Iman.
Generasi muda cenderung menginginkan interaksi dua arah, bukan hanya menjadi penerima informasi pasif. Mereka lebih mempercayai rekomendasi teman di media sosial dibandingkan media arus utama. Oleh karena itu, televisi perlu membangun ekosistem komunitas dengan konten-konten yang relevan, seperti gaya hidup, wisata, dan kuliner. Sebagai contoh, TVRI Sulawesi Selatan membuat program wisata lokal di Rammang-Rammang, Maros. Meskipun lokasinya belum begitu dikenal luas, kontennya mampu menjadi bahan perbincangan di media sosial dan menarik minat audiens, meskipun dengan cara yang berbeda.
Televisi juga bisa menjadi sarana edukasi bagi generasi muda. Banyak dari mereka yang tertarik dengan dunia kamera, penyuntingan, dan produksi film. “Kalau kalian ingin belajar dunia penyiaran, datanglah ke stasiun TV. Kami butuh generasi baru yang segar dan kreatif,” tambah Iman.
Kita bisa meneladani BBC yang sejak 2007 telah memiliki iPlayer, dan bahkan menargetkan untuk meninggalkan siaran konvensional sepenuhnya pada 2030. Relevansi menjadi hal yang harus dijaga, bukan sekadar mempertahankan eksistensi. “Kita tidak sedang kehilangan penonton, kita hanya kehilangan cara lama dalam menyapa mereka,” pungkas Iman. Sudah saatnya televisi berevolusi, tidak hanya dari sisi teknologi, tetapi juga dalam cara berpikir dan membangun hubungan dengan publik.
Penulis: Sevanya Fildzah Setiawan (E-Radio FEB UNAIR)