feb unair badriBerbagai kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum menurunkan kepercayaan publik. Padahal, kepercayaan publik berperan penting pada pertumbuhan ekonomi. Bagaimana pemerintah dapat memulihkan kepercayaan publik?

Berita negatif terkait lembaga negara dalam setahun terakhir silih berganti. Pengadilan sudah memutuskan menghukum petinggi Polri terkait pembunuhan berencana dan tengah menyidangkan kasus narkoba yang juga melibatkan petinggi Polri lainnya.

Tidak lama kemudian, dua hakim agung ditangkap KPK karena kasus penyuapan.

Dampaknya, kepercayaan publik menurun. Laporan Transparency International, Januari lalu, menunjukkan Indonesia menempati posisi keenam di ASEAN dan ke-110 secara global dalam hal Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) tahun 2022. Tertinggi Singapura (nomor 5 terbaik global), diikuti Malaysia (61), Timor Leste (77), Vietnam (77), Thailand (101), dan Indonesia (110).

Sebulan terakhir, pemberitaan didominasi meningkatnya kekayaan tidak wajar beberapa pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan. Bahkan, ada ketidakwajaran nilai transaksi yang diduga terkait tindak pidana pencucian uang mencapai Rp 349 triliun, menurut Menko Polhukam M Mahfud MD. Transaksi tersebut melibatkan ratusan pegawai dari beragam kementerian dan lembaga lain dalam 14 tahun terakhir.

Tentu menarik melihat bagaimana publik bereaksi. Secara umum, survei Litbang Kompas menunjukkan penurunan kepuasan publik pada kinerja pemerintahan dibandingkan awal tahun lalu. Indikasi korupsi pada pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sampai memunculkan ajakan untuk tidak membayar pajak.

Bagaimana seharusnya pemerintah memulihkan kepercayaan publik?

Korupsi dan kepercayaan publik

Lima dekade terakhir menunjukkan peran penting kepercayaan publik (sosial) pada pertumbuhan ekonomi. Fakta menunjukkan bahwa negara maju memiliki masyarakat yang memercayai satu sama lain (interpersonal trust) dan memercayai pemerintahannya (institutional trust)—high trust society. Kebalikannya, negara berkembang dikarakteristikkan sebagai low trust society.

Dari beragam studi yang dilakukan, kepercayaan sosial bisa menjadi modal untuk menumbuhkan perekonomian. Studi Kalish dkk (2021) menunjukkan naiknya produk domestik bruto (PDB) sebuah negara apabila 50 persen populasi memercayai satu sama lain. Khusus Indonesia, peningkatan PDB bisa mencapai 2,3 persen (setara Rp 374 triliun).

Kepercayaan publik juga akan memperkuat tata kelola pemerintahan yang demokratis dan efisien. Adapun di level mikro, kepercayaan publik akan mengurangi biaya transaksi dan meningkatkan inovasi pada produk yang dihasilkan.

Penyebab utama turunnya kepercayaan publik, khususnya institutional trust, adalah korupsi. Terdapat dua pandangan peran korupsi pada pembangunan. Pertama, korupsi berperan sebagai grease the wheels yang menggerakkan dan menumbuhkan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang kurang optimal karena kurang efisiennya peraturan yang ada dilancarkan oleh korupsi.

Kedua, korupsi menjadi sand the wheels karena mencegah efisiensi produksi dan inovasi sehingga ekonomi tumbuh tidak optimal. Studi terbaru menunjukkan peran kedualah yang dominan. Korupsi dalam jangka panjang berdampak kumulatif, berupa turunnya PDB sebesar 17 persen ketika persepsi terhadap korupsi pada sebuah negara naik (Grundler dan Potrafke, 2019). Dampak negatif ini diikuti dengan menurunnya investasi dari luar negeri dan meningkatnya inflasi.

Memulihkan kepercayaan

Kepercayaan merupakan kondisi psikologis di mana kerentanan masih bisa diterima karena adanya ekspektasi positif akan niat dan tindakan pihak lain. Dalam konteks pemerintahan, publik percaya pemerintah senantiasa berusaha memberikan kemakmuran dan keadilan bagi Indonesia. Pelanggaran kepercayaan terjadi bilamana ekspektasi positif itu tidak sesuai dengan kenyataan.

Pelanggaran kepercayaan akan menciptakan krisis. Terdapat empat tahapan krisis menurut crisis life cycle theory (Fink, 1986). Pertama adalah ”Prodromal”, yakni ketika peristiwa pelanggaran terjadi dan terakumulasi. Pelaporan akan transaksi tidak wajar sejak 2009 dan melibatkan lebih dari 460 pegawai di lingkungan Kemenkeu masuk dalam tahapan ini.

Namun, tindak lanjut laporan itu belum terlihat dampaknya.

Tahapan selanjutnya adalah ”Akut”, yakni ketika perhatian semakin luas dan terjadi dalam waktu yang singkat. Diawali peristiwa pengeroyokan, perhatian publik terfokus pada flexing pelaku yang notabene putra pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan.

Hanya dalam waktu singkat, beragam kekayaan dan transaksi tidak wajar mulai terekspos oleh dan kepada publik. Hasilnya, publik semakin perhatian akan flexing yang selama ini dilakukan di media sosial oleh pejabat pemerintahan dan keluarganya.

Tahapan ketiga adalah ”Kronis”, yakni ketika pendekatan yang digunakan efektif sehingga dampak dari krisis mulai melemah meskipun memerlukan waktu yang panjang.

Terakhir, tahapan ”Terminasi”, dengan berangsur hilangnya dampak dari krisis yang terjadi. Namun, antisipasi kehadiran krisis baru di masa datang tetap harus dilakukan.

Untuk memulihkan kepercayaan, terdapat tiga pendekatan yang ditawarkan oleh Xie dan Peng (2010). Pertama, pendekatan ”Afektif”, seperti menunjukkan perhatian kepada pihak yang terdampak atas pelanggaran yang terjadi, menyampaikan permohonan maaf dan pengakuan pada publik, ataupun berjanji untuk tak mengulangi pelanggaran tersebut.

Kedua, pendekatan ”Informasional” dengan mengomunikasikan kepada publik kenapa pelanggaran tersebut terjadi, mengklarifikasi rumor yang tidak benar, dan membuka informasi yang sebenarnya.

Ketiga, pendekatan ”Fungsional” melalui pemberian kompensasi kepada pihak yang kepercayaannya dilanggar.

Riset terbaru yang dilakukan Zhang dkk (2021) menunjukkan pendekatan yang dilakukan harus disesuaikan dengan tahapan krisis yang dialami.

Pada tahapan ”Akut”, pendekatan yang efektif adalah ”Afektif”. Pendekatan ini akan melegakan sentimen negatif publik pada krisis yang terjadi. Ketika krisis memasuki tahapan ”Kronis”, pendekatan yang perlu dilakukan adalah ”Informasional”. Ketika publik hilang kepercayaan kepada organisasi, menyajikan informasi yang diminta akan efektif dalam mengurangi krisis yang terjadi.

Tahapan ”Terminasi” akan efektif apabila menggunakan pendekatan ”Fungsional”. Pemberian kompensasi kepada yang terdampak, perbaikan prosedur dan mekanisme pengawasan, ataupun mitigasi risiko akan krisis di masa depan dapat dilakukan agar krisis lekas berakhir dan tidak akan terulang di masa datang.

Rekomendasi

Krisis kepercayaan publik kepada pemerintah menjadi keprihatinan bersama. Apalagi, banyak studi empiris menunjukkan dampak negatif yang ditimbulkan, khususnya terhadap sosial dan ekonomi bangsa.

Dibutuhkan upaya yang terstruktur, sistematis, dan masif agar kepercayaan publik kepada pemerintah dan aparaturnya segera pulih. Pemulihan akan optimal apabila pendekatan yang digunakan sesuai dengan tahapan krisis yang dialami.

Tentu mencegah terjadinya krisis kepercayaan sangatlah penting dilakukan. Tugas ini tidak hanya menjadi tugas pemerintah dan aparaturnya, tetapi semua anak bangsa.

Bersama-sama secara proaktif memulihkan dan menjaga kepercayaan sosial bangsa. Jangan sampai kita kehilangan momentum untuk menjadi negara maju tahun 2045 karena kurangnya kepercayaan publik, baik interpersonal maupun institutional trust.

Pertumbuhan ekonomi akan kurang optimal dan ancaman perangkap negara berpendapaan menengah (middle income trap) jadi nyata. Tugas pemimpin bangsa, baik saat ini maupun yang akan datang, adalah menjadikan Indonesia menjadi high trust society sebagai fondasi dasar kemajuan bangsa.

Badri Munir Sukoco Guru Besar Manajemen Strategi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

 

 

https://www.kompas.id/baca/opini/2023/03/23/memulihkan-kepercayaan-publik