
Dinamika geopolitik global masih mendominasi pemberitaan media massa. Meskipun pada saat yang sama, pemimpin negara aktif dalam meredakan dinamika tersebut. Dalam 3 bulan terakhir, kita menyaksikan banyaknya kerjasama bilateral maupun mutilateral yang dilakukan untuk menurunkan tensi geopolitik yang meningkat pasca Covid-19.
Secara umum, tensi geopolitik terbagi menjadi dua: 𝑡𝑎𝑛𝑔𝑖𝑏𝑙𝑒 (berwujud) dan 𝑖𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔𝑖𝑏𝑙𝑒 (tidak berwujud). 𝑇𝑎𝑛𝑔𝑖𝑏𝑙𝑒 𝑔𝑒𝑜𝑝𝑜𝑙𝑖𝑡𝑖𝑐𝑠 mendominasi pemberitaan melalui penguasaan wilayah dan/atau sumberdaya alam negara lain untuk mewujudkan kesejahteraan, keamanan, dan kekuatan negaranya. Yang jarang terbahas adalah 𝑖𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔𝑖𝑏𝑙𝑒 𝑔𝑒𝑜𝑝𝑜𝑙𝑖𝑡𝑖𝑐𝑠 melalui penguasaan pengetahuan dan teknologi (Moisio, 2018).
Ketegangan Amerika Serikat (AS) dan China sebagian besar disebabkan yang kedua, yakni perebutan hegemoni teknologi. Penguasaan teknologi akan menentukan masa depan geopolitik global. Teknologi tinggi menjadi sumber kesejahteraan sekaligus memfasilitasi keamanan dan kekuatan negara. Salah satunya adalah semikonduktor, yang diklaim oleh mantan CEO Intel, Pat Gelsinger, akan lebih penting dibandingkan minyak di masa datang.
Presiden Prabowo Subianto menetapkan semikonduktor sebagai industri strategis yang akan menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi di masa datang. Bagaimana seharusnya Indonesia membangun industri semikonduktornya?
𝐊𝐞𝐛𝐢𝐣𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐝𝐮𝐬𝐭𝐫𝐢
Guna membentuk struktur ekonomi yang mampu bertumbuh, pemerintah perlu mengembangkan industri dan perusahaan strategis sebagai lokomotifnya – 𝑖𝑛𝑑𝑢𝑠𝑡𝑟𝑖𝑎𝑙 𝑝𝑜𝑙𝑖𝑐𝑦 (Agarwal, 2023). Kebijakan industri akan dapat dicapai melalui subsidi, insentif pajak, pengembangan infrastruktur, regulasi yang melindungi, dan dukungan terhadap R&D.
Salah satu kebijakan industri yang dipuji kontribusinya dalam menumbuhkan serta merubah struktur ekonomi sebuah negara adalah 𝑀𝑎𝑑𝑒 𝑖𝑛 𝐶ℎ𝑖𝑛𝑎 2025. Terdapat 10 industri strategis yang ditargetkan menjadi kontributor 40% ekspor China di tahun 2025. Dengan mengintegrasikan perguruan tinggi yang bertugas mengembangkan staf di bagian R&D, professional, teknisi, hingga operator; riset yang melibatkan perguruan tinggi lembaga riset, khususnya 𝐶ℎ𝑖𝑛𝑒𝑠𝑒 𝐴𝑐𝑎𝑑𝑒𝑚𝑦 𝑜𝑓 𝑆𝑐𝑖𝑒𝑛𝑐𝑒𝑠; pebisnis maupun pemerintah daerah yang mengoperasikan beragam kawasan industri menjadikannya sukses.
Kajian yang dilakukan oleh 𝑈𝑆 𝐶ℎ𝑎𝑚𝑏𝑒𝑟 𝑜𝑓 𝐶𝑜𝑚𝑚𝑒𝑟𝑐𝑒 menunjukkan 3 industri strategis mencapai target yang ditetapkan China, yakni kereta cepat, kelistrikan, dan teknologi kelautan. Secara umum, perusahaan China yang berbasis teknologi semakin kompetitif, baik di pasar domestik maupun global. Meskipun awal Abad 21 didominasi industri berteknologi rendah dan menengah, kebijakan industri ini sukses mengantarkan kemandirian teknologi di domestik sekaligus memasuki pasar global.
Untuk mempertahankan hegemoni teknologinya, AS mengeluarkan 𝐶𝐻𝐼𝑃𝑆 𝑎𝑛𝑑 𝑆𝑐𝑖𝑒𝑛𝑐𝑒 𝐴𝑐𝑡 tahun 2022. Undang-undang ini bertujuan untuk membangun kembali kepemimpinan AS dalam memproduksi semikonduktor, mengurangi ketergantungan pada pasokan asing, menciptakan lapangan kerja yang bernilai tambah tinggi, dan tentunya memperkuat keamanan nasional dan ekonomi. Total anggaran yang dialokasikan mencapai US$280 miliar untuk 10 tahun. Anggaran terbesarnya (US$174 miliar) digunakan untuk R&D, Pendidikan STEM dan pengembangan SDM yang bekerja didalamnya. Adapun US$50 miliar dialokasikan untuk insentif dan subsidi bagi perusahaan semikonduktor yang berproduksi di AS. Bulan Juli lalu, 𝑆𝑒𝑚𝑖𝑐𝑜𝑛𝑑𝑢𝑐𝑡𝑜𝑟 𝐼𝑛𝑑𝑢𝑠𝑡𝑟𝑦 𝐴𝑠𝑠𝑜𝑐𝑖𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 menyatakan terdapat 130 proyek di 28 negara bagian dengan nilai investasi dari pihak swasta mencapai US$600 miliar sejak UU ini ada. Investasi ini akan menciptakan pekerjaan bagi 500 ribu orang. Pekerja di fasilitas produksi mencapai 69 ribu orang, 122 ribu orang untuk konstruksi, dan pekerjaan lain yang mendukung industri hingga 335 ribu orang.
𝐁𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐧𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐥𝐚𝐢𝐧
Taiwan memproduksi lebih dari 60% kebutuhan semikonduktor dunia. Bahkan dominasi untuk chip tercanggih (di bawah 7nm) mencapai 90%, dengan produsen terbesarnya adalah 𝑇𝑎𝑖𝑤𝑎𝑛 𝑆𝑒𝑚𝑖𝑐𝑜𝑛𝑑𝑢𝑐𝑡𝑜𝑟 𝐶𝑜𝑚𝑝𝑎𝑛𝑦 (TSMC). Dalam kuliahnya di MIT akhir 2023 lalu, Dr. Morris Chang sebagai pendirinya menyampaikan bahwa Taiwan tepat dalam memilih semikonduktor sebagai industri strategisnya. Dimulai dengan pendirian 𝐼𝑛𝑑𝑢𝑠𝑡𝑟𝑖𝑎𝑙 𝑇𝑒𝑐ℎ𝑛𝑜𝑙𝑜𝑔𝑦 𝑅𝑒𝑠𝑒𝑎𝑟𝑐ℎ 𝐼𝑛𝑠𝑡𝑖𝑡𝑢𝑡𝑒 (ITRI) tahun 1973. Tiga tahun kemudian, ITRI berhasil meyakinkan 𝑅𝑎𝑑𝑖𝑜 𝐶𝑜𝑟𝑝𝑜𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑜𝑓 𝐴𝑚𝑒𝑟𝑖𝑐𝑎 (RCA) untuk mentransfer teknologi manufaktur semikonduktor ke Taiwan. Dekade berikutnya, lahirlah 𝑈𝑛𝑖𝑡𝑒𝑑 𝑀𝑖𝑐𝑟𝑜𝑒𝑙𝑒𝑐𝑡𝑟𝑜𝑛𝑖𝑐𝑠 𝐶𝑜𝑟𝑝𝑜𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 (UMC) dan TSMC sebagai pelopor model bisnis 𝑝𝑢𝑟𝑒-𝑝𝑙𝑎𝑦 𝑓𝑜𝑢𝑛𝑑𝑟𝑦 (manufaktur kontrak khusus).
Lebih lanjut, Dr. Chang menyampaikan lima hal yang menjadikan Taiwan dominan di industri ini. Pertama, pasokan talenta yang berkualitas dan memadai untuk memproduksi chips, tidak hanya insinyur, namun juga teknisi dan operator. Kedua, rendahnya 𝑡𝑢𝑟𝑛𝑜𝑣𝑒𝑟 𝑟𝑎𝑡𝑒 di kalangan produsen chips karena kesejahteraannya tercukupi. Ketiga, konsentrasi geografis yang terdapat pada 3 𝑡𝑒𝑐ℎ𝑛𝑜𝑙𝑜𝑔𝑖𝑐𝑎𝑙 𝑠𝑐𝑖𝑒𝑛𝑐𝑒 𝑝𝑎𝑟𝑘𝑠 yang terkoneksi dengan kereta cepat dan memudahkan mobilitas pegawainya. Keempat, kurva pembelajaran yang dimiliki pelaku industri semikonduktor menjadikan biaya semakin murah. Dan yang terakhir, ekosistem yang terbentuk dalam 3 dekade terakhir menjadikan rantai pasok industri chips utuh.
Pada 𝑢𝑝𝑠𝑡𝑟𝑒𝑎𝑚, perusahaan lokal yang mendesain chips tersedia cukup banyak. Untuk 𝑚𝑖𝑑𝑠𝑡𝑟𝑒𝑎𝑚, perusahaan lokal yang menyuplai peralatan produksi, 𝑠𝑖𝑙𝑖𝑐𝑜𝑛 𝑤𝑎𝑓𝑒𝑟, gas, dan kebutuhan lain tersedia. Untuk produsen peralatan produksi seperti ASML, 𝐴𝑝𝑝𝑙𝑖𝑒𝑑 𝑀𝑎𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎𝑙𝑠, atau 𝐿𝐴𝑀 𝑅𝑒𝑠𝑒𝑎𝑟𝑐ℎ semuanya memiliki pusat pelatihan dan pelayanan di Taiwan. Terakhir, 𝑑𝑜𝑤𝑛𝑠𝑡𝑟𝑒𝑎𝑚 berupa perusahaan yang melakukan perakitan dan pengujian, seperti ASE, juga ada. Seluruh ekosistem ini tidak terbentuk secara tiba-tiba, namun bertahap dengan dukungan dari pemerintah pusat maupun daerah yang ditempati pabriknya.
Awalnya, Vietnam masuk dalam rantai pasok global semikonduktor bernilai tambah rendah. Namun Maret lalu pemerintahnya menyetujui pembangunan 𝑤𝑎𝑓𝑒𝑟 𝑓𝑎𝑏𝑟𝑖𝑐𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑝𝑙𝑎𝑛𝑡 senilai US$500 juta. Diharapkan selesai sebelum 2030, proyek ini menunjukkan keseriusan Vietnam menjadi pemain di industri ini. Keseriusan ini juga seiring dengan 𝐿𝑎𝑤 𝑜𝑛 𝑆𝑐𝑖𝑒𝑛𝑐𝑒, 𝑇𝑒𝑐ℎ𝑛𝑜𝑙𝑜𝑔𝑦, 𝑎𝑛𝑑 𝐼𝑛𝑛𝑜𝑣𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 yang ditetapkan oleh Majelis Nasional Vietnam yang berlaku sejak 1 Oktober lalu. Undang-undang ini memiliki 3 prioritas: membangun dan memperluas infrastruktur riset, menciptakan peraturan yang mendukung pengambilan resiko dan inovasi, dan mekanisme pembiayaan yang fleksibel dalam mendukung peneliti dan institusinya.
Untuk menyukseskannya, strategi 𝐶=𝑆𝐸𝑇+1 ditetapkan. Yang mana C adalah Chips, S menunjukkan spesialisasi, E menunjukkan elektronik, T adalah talenta, dan +1 menunjukkan Vietnam sebagai tempat yang aman sebagai tujuan investasi di bidang semikonduktor. Terdapat 3 fase dalam pengembangannya: Fase 1 (2024-2030) akan secara selektif menarik investasi dari luar negeri, membentuk 100 perusahaan desain, 1 skala kecil fasilitas produksi, dan 10 pabrik untuk perakitan dan pengujian. Fase 2 (2030-2040) menambah 200 perusahaan desain, dua fasilitas produksi yang besar, dan 15 pabrik untuk perakitan dan pengujian untuk menjamin kemandiriand alam desain dan produksi. Fase 3 (2040-2050), menambah 300 perusahaan desain dengan 3 fasilitas produksi dan 20 fasilitas perakitan dan pengujian.
Untuk keperluan tersebut, Vietnam akan membutuhkan 50 hingga 100 ribu insinyur yang berspesialisasi di semikonduktor. Kebutuhan ini akan didukung oleh 18 perguruan tinggi yang mendapatkan bantuan peralatan laboratorium dalam melatih mahasiswanya, dengan beasiswa disediakan untuk meningkatkan minat calon mahasiswa, disamping jaminan pekerjaan di masa depan. Dana riset yang besar juga dialokasikan oleh pemerintah Vietnam dalam mendukung peneliti guna menghasilkan paten-paten yang nantinya akan dimanfaatkan oleh industri di masa datang.
𝐑𝐞𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧𝐝𝐚𝐬𝐢
Semakin terintegrasinya teknologi dalam kehidupan kita sehari-hari membutuhkan kehadiran semikonduktor didalamnya. Dari drone militer, mobil listrik, hingga kipas angin membutuhkan semikonduktor. Kemandirian Indonesia untuk memenuhi kebutuhannya perlu diwujudkan tidak hanya melalui penyusunan 𝑟𝑜𝑎𝑑𝑚𝑎𝑝. Komitmen pemerintah pusat yang diwujudkan dengan undang-undang, menjadikan pendanaan riset dan pengembangan SDM melalui laboratorium dan kurikulum yang tepat memungkinkan dilakukan. Pemerintah daerah dengan PT berkelas dunia perlu berperan aktif dalam menyediakan dan memfasilitasi pebisnis untuk berinvestasi pada industri semikonduktor. Tentunya pembiayaan yang memadai dengan beragam insentif perlu diberikan bagi industri yang berkomitmen untuk melakukan investasi, dan bisa dimulai dari Danantara.
Proyeksi nilai industri semikonduktor tahun 2040 sekitar US$2 triliun, dan bilamana Indonesia berkontribusi 2% hingga 5% didalamnya dapat menjadi awalan yang bagus dalam merealisasikan kemandirian ini. Sekaligus memampukan Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2045.
Badri Munir Sukoco
Guru Besar Manajemen Strategi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga