
(FEB NEWS) — Dalam acara International Conference and Ph.D. Colloquium for Economics, and Business (ICEB) kesembilan yang diselenggarakan di Kampus B Universitas Airlangga pada hari Selasa (3/6), Prof. Dr. Arnel Onesimo O. Uy dari De La Salle University, Filipina, mengajak para akademisi dan praktisi akuntansi untuk merenungkan kembali peran mereka di tengah tantangan zaman. Ia menekankan bahwa riset, praktik, dan pengajaran harus dijalankan dengan pemahaman terhadap what, how, dan why dalam profesi akuntansi.
Prof. Arnel menyampaikan bahwa akuntan menghadapi risiko menjadi “useless class” di tengah pesatnya kemajuan teknologi Artificial Intelligence (AI). Ia menyoroti contoh konkret bahwa ChatGPT versi 4.0 berhasil lulus ujian Certified Public Accountant (CPA) dalam kurun waktu singkat. Hal ini mengindikasikan bahwa teknologi sudah mampu meniru kemampuan profesional di bidang akuntansi.
Namun tetap ia menolak anggapan bahwa profesi akuntan akan kehilangan relevansi. Menurut beliau, peran manusia tetap vital dalam menjamin kebenaran, etika, dan nilai moral yang tidak bisa sepenuhnya digantikan oleh mesin. “Apakah kita masih relevan? Mari jawab pertanyaan ini dengan dua perspektif yang akan saya berikan,” ucapnya.
Dalam paparan materi ia menawarkan dua perspektif penting. Pertama ialah akuntansi yang ia sebut sebagai bahasa bisnis. Istilah seperti ESG, SDG, hingga akuntansi untuk hak asasi manusia dan aktivitas berbisnis harus dipahami dan diintegrasikan ke dalam praktik dan kurikulum pendidikan.
Perspektif kedua menyentuh esensi akuntansi sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat publik. Ia mengutip pertanyaan dari pakar akuntansi Garry Carnegie tentang apakah akuntansi masih relevan untuk membentuk masyarakat masa depan. Jawabannya terletak pada kolaborasi sosial dan keberanian menyusun standar yang menyeluruh, baik untuk perusahaan besar, UMKM di kawasan ASEAN, maupun kepentingan lainnya.
Prof. Arnel juga menekankan pentingnya pendekatan multidisipliner dalam riset akuntansi. Ia menyebut bahwa tantangan global seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan tekanan etis membutuhkan perspektif lintas ilmu. Karena itu akuntansi harus berkembang dari sekadar pelaporan hasil menjadi sarana mewujudkan aspirasi kolektif seperti net zero carbon (emisi nol bersih) contohnya.
Kuliah tamu ini juga menyoroti perlunya redefinisi dalam agenda riset akuntansi. Prof. Arnel menyarankan untuk mempertimbangkan teori-teori alternatif dari disiplin lain agar akuntansi dapat lebih efektif dalam menyelesaikan persoalan nyata, mulai dari kemiskinan hingga eksklusi sosial. Hal ini juga penting untuk menarik minat generasi muda terhadap profesi akuntansi yang semakin memudar saat ini.
Menutup presentasinya, Prof. Arnel mengajak peserta untuk melihat hubungan antara tiga elemen penting dalam profesi yakni ada AI sebagai teknologi, keberlanjutan (sustainability), dan etika (ethics). Ia menyebut ketiganya sebagai nexus yang harus diintegrasikan secara menyeluruh dalam praktik, riset, dan pendidikan akuntansi demi masa depan yang lebih baik.
“Kita harus memastikan bahwa AI hanya menjadi alat bantu dalam berpikir, bukan pengganti akuntabilitas kita sebagai manusia. Etika harus menjadi fondasi, dan keberlanjutan harus menjadi arah langkah kita,” ujarnya.
Penulis : Dhamar Gandhang Panji N. (E-Radio FEB UNAIR)