
(FEB NEWS) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB UNAIR) bekerja sama dengan JTV sukses menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Navigating a Changing Media Landscape” pada Jumat pagi (16/5), bertempat di Ruang Rote, Lantai 4 Gedung ASEEC, Kampus B Surabaya. Kegiatan ini menghadirkan sejumlah tokoh penting dari dunia media dan akademisi untuk membahas dinamika serta tantangan yang dihadapi industri media di era digital yang berkembang pesat.
Di era Revolusi Industri 5.0, kita tidak lagi hanya membicarakan efisiensi dan otomasi, melainkan memasuki realitas baru di mana kecerdasan buatan (AI), robotika, dan teknologi canggih lainnya telah menjadi bagian integral dari proses produksi dan kehidupan sehari-hari. Ketidaksiapan dalam menghadapi perubahan ini berisiko menggiring kita pada kegagalan beradaptasi terhadap transformasi digital. Seperti dikemukakan oleh Swards (2001), “Only the most adaptable enterprises responsive to technological threats will survive.” Artinya, hanya organisasi yang adaptif terhadap disrupsi teknologi yang akan mampu bertahan.
Fenomena ini telah terbukti saat pandemi COVID-19 melanda. Perusahaan yang telah siap bertransformasi secara digital mampu bertahan, bahkan tumbuh, sementara banyak lainnya harus tutup karena gagal merespons perubahan secara cepat. Namun demikian, transformasi digital bukan soal persaingan antara manusia dan mesin. “Kita bukan sedang berbicara soal AI versus manusia, tetapi manusia versus AI. Artinya, kita tidak akan digantikan oleh robot, melainkan oleh orang yang menguasai dunia robotika dan AI,” ungkap Prof. Dr. Gancar C. P.
Transformasi digital memberikan dampak signifikan pada sektor media. Banyak perusahaan media mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) massal akibat perubahan model bisnis. Kompas TV dan TV One, misalnya, dilaporkan melakukan pengurangan besar terhadap tenaga kerjanya. Namun di tengah tantangan ini, terbuka peluang untuk melakukan pembaruan strategi. Dunia bisnis dan media dituntut menerapkan strategi organisasi ambidextrous, yakni kemampuan untuk menjalankan dua pendekatan secara bersamaan: eksplorasi terhadap peluang baru dan eksploitasi terhadap sumber daya yang ada. “Ambidextrous merupakan pendekatan strategis yang memungkinkan perusahaan menjalankan dua aktivitas secara simultan di tengah perubahan,” ujar Prof. Gancar.
Perubahan perilaku konsumen juga terlihat nyata di sektor ritel. Toko-toko fisik mulai sepi, pusat perbelanjaan kehilangan daya tarik, dan banyak bisnis konvensional harus gulung tikar. Namun, industri merespons dengan menghadirkan solusi seperti live streaming, e-commerce, dan integrasi kanal daring dan luring. Pendekatan omni-channel kini tak hanya sebatas menghadirkan banyak saluran (multi-channel), tetapi menciptakan ekosistem pengalaman pelanggan yang terintegrasi. Transformasi ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi sektor lain, termasuk media dan pendidikan.
Cina menjadi contoh sukses negara yang menjalankan transformasi media secara progresif. Mereka mengintegrasikan AI dan otomatisasi dalam jurnalisme serta mendorong konvergensi lintas platform: TV, radio, situs web, aplikasi, dan media sosial menjadi satu ekosistem media yang besar. Selain itu, Cina juga memperkuat kedaulatan digitalnya dengan membangun platform-platform lokal pengganti seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp—langkah yang membuat mereka lebih mandiri dan tahan terhadap intervensi asing.
Indonesia tentu tidak boleh tertinggal. Industri media nasional perlu segera beradaptasi, terutama dalam pengembangan konten dan distribusinya. Konten harus disesuaikan dengan algoritma platform dan preferensi generasi muda sebagai pengguna utama informasi digital. Sumber daya manusia media, khususnya jurnalis, perlu dibekali keterampilan baru seperti digital storytelling dan pemanfaatan AI dalam peliputan. Di sisi lain, peran masyarakat dalam jurnalisme digital juga harus diperkuat melalui program seperti citizen journalism dan lomba video kreatif.
Kolaborasi menjadi kata kunci. Inisiatif bersama telah dilakukan, antara lain melalui kerja sama dengan JTV dalam program “Jofran Warga”, serta kontribusi dosen-dosen UNAIR di RRI untuk memberikan edukasi kepada publik. Kolaborasi konten juga terjalin dengan media lokal seperti Suara Surabaya, membuktikan bahwa sinergi antarpemangku kepentingan adalah jalan terbaik untuk menghadapi transformasi digital secara kolektif.
Pada akhirnya, transformasi digital bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah keniscayaan. Untuk menjawab tantangan ini, organisasi perlu menerapkan strategi ambidextrous dan pendekatan omni-channel. Sementara itu, kolaborasi lintas sektor antara media, kampus, dan pemerintah harus terus diperkuat demi menciptakan ekosistem digital yang tangguh, inovatif, dan berdaya saing tinggi di masa depan.