BERITA

INDONESIA DI PERSIMPANGAN JALAN: MEMANFAATKAN PELUANG EKONOMI GLOBAL ATAU TERTINGGAL DI BELAKANG?

INDONESIA DI PERSIMPANGAN JALAN: MEMANFAATKAN PELUANG EKONOMI GLOBAL ATAU TERTINGGAL DI BELAKANG?

Surabaya, Selasa 12 Agustus 2025 — Gejolak geopolitik, perkembangan teknologi, dan perubahan iklim menciptakan tantangan sekaligus peluang baru bagi perekonomian global. Hal ini menjadi salah satu isu utama dalam The 12th East Java Economic (EJAVEC) Forum 2025, hasil kolaborasi Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Provinsi Jawa Timur, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga, serta Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Surabaya. Forum tahun ini mengangkat tema “Meningkatkan Produktivitas, Inovasi, dan Kapasitas Ekonomi Jawa Timur di Tengah Berbagai Tantangan Global.”

Dalam forum tersebut, Dr. Yose Rizal Damuri, S.E., M.Ec. Dev., Ph.D., Direktur Eksekutif CSIS, memaparkan bagaimana dinamika global memengaruhi Indonesia, khususnya Jawa Timur. “Dunia sedang menghadapi tiga tren utama yang membentuk perekonomian global: perlombaan inovasi, transisi menuju industri hijau, dan kebutuhan akan ketahanan ekonomi. Tren ini diperkuat oleh penggunaan kebijakan ekonomi sebagai instrumen geopolitik, seperti kebijakan tarif Amerika Serikat,” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa kebijakan yang dikenal sebagai Trump policies telah menimbulkan guncangan besar bagi banyak negara, dengan dua dampak utama: efek pendapatan (income effect) dan efek substitusi (substitution effect).

Menurut Yose Rizal, efek pendapatan berimplikasi pada perlambatan ekonomi global dan penurunan permintaan. Simulasi CSIS menunjukkan kondisi ini berdampak langsung pada ekspor Indonesia, termasuk ke Amerika Serikat. Selain itu, melemahnya permintaan di negara besar seperti AS mendorong Tiongkok mendiversifikasi pasar, yang berpotensi memicu banjir produk ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Situasi ini bisa berkembang menjadi perang dagang lebih luas, di mana negara-negara lain termasuk Indonesia cenderung meningkatkan tarif untuk melindungi pasar domestik.

Sementara itu, efek substitusi berhubungan dengan perubahan rantai pasok global. Banyak perusahaan kini merelokasi produksi dari Tiongkok. Namun, Indonesia dinilai belum optimal memanfaatkan peluang tersebut. “Data menunjukkan bahwa dari 176 perusahaan Jepang yang merelokasi ke Asia Tenggara, 90 perusahaan memilih Vietnam, 34 ke Thailand, dan 20 ke Malaysia. Hanya 16 perusahaan yang memilih Indonesia,” jelas Yose Rizal. Menurutnya, ada tiga faktor utama di balik kondisi ini, yakni struktur produksi Indonesia yang berbeda dengan Tiongkok, rendahnya integrasi dalam rantai pasok global, serta ketidakpastian iklim usaha.

Di sisi domestik, kontribusi Jawa Timur terhadap PDB nasional mencapai 15 persen, menjadikannya provinsi terbesar kedua di Pulau Jawa setelah DKI Jakarta. Namun, tren investasi di wilayah ini justru sedikit menurun sehingga menjadi pekerjaan rumah besar untuk dipertahankan. Yose Rizal menegaskan bahwa dengan potensi besar dan posisi strategisnya, Jawa Timur memiliki modal kuat untuk membalikkan keadaan. Dengan kebijakan yang tepat dan kolaborasi antar pemangku kepentingan, peluang menjadi salah satu primadona investasi di Asia Tenggara masih sangat terbuka.

Menutup pemaparannya, Yose Rizal berharap Jawa Timur mampu menjadi pionir dalam reformasi ekonomi di Indonesia. Langkah tersebut penting agar daerah ini dapat mengatasi tantangan global sekaligus memanfaatkan peluang strategis yang ada.

Pesan Yose Rizal selaras dengan agenda pembangunan berkelanjutan, khususnya SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi) serta SDG 9 (Industri, Inovasi, dan Infrastruktur). Dengan memperkuat reformasi dan meningkatkan daya saing, Jawa Timur berpotensi menjadi motor penggerak ekonomi nasional sekaligus pusat pertumbuhan yang berkelanjutan di kawasan Asia Tenggara.

Penulis: Zawilla Defitrianti Bahtiar (E-Radio FEB UNAIR)