
(FEB NEWS) Perubahan pola konsumsi informasi publik menjadi tantangan besar bagi keberlangsungan industri media penyiaran di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Putut Darmawan, Perwakilan Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Navigating a Changing Media Landscape” yang diselenggarakan di Gedung ASEEC, Kampus B Universitas Airlangga, pada Jumat (16/5).
“Dalam beberapa waktu terakhir, 23 perusahaan media cetak sudah berhenti terbit, tujuh media besar melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, dan satu stasiun televisi menutup siarannya,” ungkap Putut dalam sesi pemaparannya. Ia menyebut fakta tersebut sebagai sinyal kuat bahwa media konvensional menghadapi tekanan serius untuk mempertahankan eksistensinya di tengah arus digitalisasi.
Menurutnya, perubahan signifikan ini dipicu oleh pergeseran perilaku konsumsi informasi, terutama di kalangan generasi muda (Gen-Z) yang sudah tidak lagi menjadikan media tradisional sebagai sumber utama informasi. “Dulu kita fokus menonton televisi, mendengarkan radio, dan membaca koran. Sekarang mereka memilih sendiri platform yang mereka sukai,” jelas Putut.
Ia menambahkan bahwa generasi muda lebih menyukai informasi yang interaktif, singkat, dan ringan. “Teman-teman milenial saat ini berbeda. Kalau dulu kita menunggu ‘Dunia Dalam Berita’ setiap malam, Gen-Z sekarang tidak mengalami kebiasaan seperti itu,” tambahnya. Perubahan preferensi audiens ini, menurut Putut, menjadi tantangan besar yang harus direspons secara adaptif oleh pelaku media.
Kominfo sendiri, lanjut Putut, tidak luput dari tantangan serupa. Ia mengakui bahwa pemerintah sempat tertinggal dalam menyampaikan informasi kepada publik jika dibandingkan dengan media swasta. “Kami menyadari bahwa ketika teman-teman media sudah bergerak cepat, pemerintah justru masih lambat merespons,” ujarnya.
Sebagai bentuk adaptasi, Kominfo kini mulai meninggalkan media cetak yang selama ini digunakan secara internal. Beberapa koran dan majalah terbitan pemerintah diubah ke format digital atau e-magazine. “Kami juga sedang berupaya mengubah pola perilaku internal. Biaya cetak yang tinggi menjadi salah satu pertimbangannya,” ungkap Putut.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa adaptasi teknologi saja tidak cukup. Kolaborasi antara pemerintah, media, dan akademisi sangat penting untuk membangun ekosistem komunikasi publik yang sehat dan relevan. Ia juga menaruh harapan besar kepada mahasiswa, termasuk dari Universitas Airlangga, untuk menjadi generasi penerus yang aktif dalam pengembangan dunia media dan komunikasi publik. Menurutnya, banyak aktivitas mahasiswa yang dapat menjadi bagian penting dari penyebaran informasi berkualitas, baik di dalam maupun luar kampus.
Di sisi lain, kemajuan teknologi juga menghadirkan tantangan baru dalam bentuk penyalahgunaan kecerdasan buatan (AI). Putut mencontohkan kasus penyalahgunaan wajah pejabat publik dalam penipuan daring. “Beberapa minggu lalu, di Jawa Timur beredar video Gubernur yang disebut-sebut membagikan sepeda motor seharga Rp500 ribu,” ujarnya. Ia juga menyebut kasus serupa yang menimpa Gubernur Jawa Tengah dan tokoh publik Dedi Mulyadi.
Sebagai langkah antisipatif, Kominfo terus mendorong literasi digital melalui berbagai program. Putut menekankan pentingnya peningkatan kemampuan masyarakat dalam memilah informasi, memahami etika digital, serta berkolaborasi membangun lingkungan media yang sehat dan transparan.
Penulis: Dhamar Gandhang Panji N (E-Radio FEB UNAIR)