Sehebat apapun kita, kita bukanlah penilai yang baik. Hal itu setidaknya dapat terlihat dari riset eksperimen yang dilakukan dalam acara “Brains Games” di National Geography (dapat dicari di youtube dengan judul Cakes of Deception, Brain Games). Dalam percobaan tersebut, 2 kue cokelat yang identik, baik dari segi bahan, pembuat, maupun tampilannya diberikan harga yang berbeda. Kue cokelat yang satu diberi harga $15 (sekitar Rp 210.000,00) sedang yang lain $55 (sekitar Rp 770.000,00). Menurut Anda adakah perbedaan respon pejalan kaki yang mencicipinya?

Hasil dari observasi atas eksperimen yang dilakukan adalah, ketika mencicipi kue yang lebih murah, mereka merasa rasanya kurang enak, terlalu kering dan lainnya. Sedangkan ketika mencicipi kue yang seharga $55, para pencicip merasa bahwa itu adalah kue cokelat terenak yang pernah dirasakan, dan pasti dibuat dengan bahan yang bermutu. Para pencicip tidak percaya ketika diberi tahu bahwa kedua kue cokelat pada dasarnya adalah sama. Terlihat bahwa otak kita sering tertipu dengan sedikit perbedaan yang dimunculkan, bukan?

Sebuah kisah di Al Quran lebih memberikan contoh bahwa apa yang kita lihat dan dengar seringkali berbeda dengan hakikat sebenarnya. QS Al Kahfi: 60–82 mengisahkan tentang Nabi Musa ‘alaihissalam yang walaupun telah memiliki murid masih harus berguru kepada Nabi Khidhr ‘alaihissalam. Dalam perjalanannya untuk mendapatkan ilmu, dikisahkan bahwa Nabi Musa ‘alaihissalam tidak dapat bersabar dan menyalahkan tindakan dari Nabi Khidhr ‘alaihissalam sebagai sang guru.

Nabi Khidhr ‘alaihissalam melubangi perahu nelayan miskin, membunuh anak kecil, dan juga membangun rumah seseorang yang hampir roboh di sebuah desa yang penduduknya pelit. Nabi Musa ‘alaihissalam berpendapat hanya berdasarkan dengan apa yang dilihat dan didengar semata, serta belum berdasarkan niat dan dampak yang memang tidak dan belum terlihat. Alasan perbuatan Nabi Khidhr ‘alaihissalam yang dianggap salah oleh Nabi Musa ‘alaihissalam, dijelaskan dalam QS Al Kahfi: 79–82 berikut:

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang salih, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS Al Kahfi: 79–82)

Kedua kisah tersebut menunjukkan bahwa manusia bukanlah penilai yang baik. Pendapatnya sangat subjektif tergantung dari pengetahuan dari yang tertampak saja. Padahal penampakan dapat dimanipulasi, dan hal yang terlihat sangat terbatas. Tetapi yang terjadi adalah, di era saat ini, begitu mudahnya kita menilai dan menghakimi orang lain, bahkan walaupun belum pernah bertemu. Na’udzubillah, semoga kita dijauhkan dari hal sedemikian, karena kita bukan juri dan hakim yang baik.

Penulis: Dr. Gancar C. Premananto*

*Koordinator Program Studi Magister Manajemen FEB Universitas Airlangga Surabaya

Sumber : https://suaramuslim.net/dont-judge-a-book-by-its-cover-2/

http://mm.feb.unair.ac.id/id/kemahasiswaan/artikel/artikel-populer/846-don-t-judge-a-book-by-its-cover-bagian-2.html