Pada hari Jumat, 12 Oktober 2018 sore lalu Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Airlangga (Unair), menyelenggarakan diskusi umum bertajuk “Tinjauan Struktur Produksi dan Industri Hulu Sektor Pertanian” di Aula Menara, FEB Unair, Jl. Airlangga No.4-6, Surabaya. Diskusi tersebut juga sekaligus mengupas dua buku dari pembicara, yaitu Dr. Gutomo Priatmono, Peneliti PSPK-UGM dan penulis buku “Tumbal: Pembangunan Pertanian yang Gagal di Republik Indonesia tahun 1960-2000an”, dan Muhammad Ihwan, S.P., M.Si, Manajer Humas Petrokimia Gresik dan tim penulis buku “Langkah Nyata Menjadi Solusi Bagi Agroindustri: Kiprah 46 tahun Petrokimia Gresik Membangun Sektor Pertanian”.

Diskusi Umum FEB Unair 12 Okt 2018 c
Akhmad Jayadi, S.E., M.Ec.Dev., dosen FEB Unair selaku moderator membuka diskusi dengan fakta urgensi sektor pertanian bagi perekonomian Indonesia. Menurutnya, peran pertanian setidaknya digambarkan dalam tiga hal: kontributor ketiga (sebesar 14%) bagi PDB nasional; menyerap tenaga kerja sebanyak 44%; dan penghasil makanan pokok bagi penduduk. Sektor pertanian di Indonesia menurut Jayadi menghadapi banyak tantangan, mulai dari turunnya produksi, berkurangnya lahan tanam, serta naiknya konsumsi akibat tingginya populasi.
Masalah di sektor pertanian bisa diurai dari empat level dalam sistem pertanian, yaitu: subsektor industri hulu yaitu penyedia sarana produksi pertanian; kemudian subsektor usaha tani (on farm) yaitu kegiatan ekonomi untuk menghasilkan produk pangan, hortikultura, dsb; lalu subsektor industri hilir yaitu pengolahan, pengemasan, dan perdagangan; serta terakhir dari subsektor penunjang seperti keuangan, pengangkutan, litbang, pergudangan dll.
Dr Gutomo memaparkan bahwa produktivitas pertanian mengalami stagnasi. Petani hanya surplus Rp 450–600ribu tiap kali panen (+- 3 bulan), sementara pengeluaran petani mencapai Rp 1,5-1,7juta perbulan untuk kebutuhan, termasuk beli beras. Pertanyaannya, mengapa petani masih beli beras? Ternyata pasca revolusi hijau, gabah petani tidak tahan lama sehingga petani tidak menyimpan gabah, sehingga petani dirugikan 4000-6000 rupiah per kg, tergantung kualitas beras yang dibeli. Alhasil, surplus tersebut masih imajiner. Yang menikmati surplus hanyalah bulog yang berfungsi untuk mengamankan politik nasional melalui kebijakan harga atas dan bawah.
Temuan lain adalah adanya dualisme model produksi dan ideologi, dimana sejak tahun 1965 program peningkatan produktivitas menuju swasembada pangan dijalankan dengan dua cara, yaitu: 1) modernisasi pertanian melalui revolusi hijau (superstruktur), dengan wujud pembangunan pertanian sebagai strukturnya; 2) lembaga pertanian seperti kelompok tani, KUD dan irigasi sebagai infrastruktur yang juga bertujuan untuk produktivitas. Memperbesar usaha tani pada cara pertama adalah metode capitalism mode of production, sementara cara kedua berupa koperasi mewakili socialistic mode of production.
Presenter kedua, Muhammad Ihwan mengupas semua hal tentang pupuk, khususnya produksi PT Petrokimia Gresik. Ihwan mengajukan sebuah pandangan yang holistik pada sistem pertanian, yaitu tidak dipisahkannya antar subsektor hulu dan hilir. Petrokimia menyediakan hampir semua input di hulu seperti pupuk, benih, pembenah tanah, pengendali hama, dan decomposer. Kontribusi petrokimia dalam sektor pertanian adalah dukungan pada setiap siklus pertanian: penyediaan pupuk, peningkatan produktivitas, demplot/edukasi/sosialisasi, kegiatan inovasi pertanian, dan regenerasi petani.
Salah satu masalah dalam pupuk bersubsidi adalah kelangkaan. Menurut Ihwan, hal ini bukan karena kurangnya kapasitas produksi Petrokimia, namun memang karena alokasi oleh pemerintah (9,55 juta ton) diberikan kurang dari usulan daerah (13,18 juta ton). Diantara semua jenis pupuk bersubsidi, Urea memiliki alokasi terbesar yaitu 4,1 juta ton (43%). Diantara 5 jenis pupuk bersubsidi, hanya ZA, SP-36 dan NPK Phonska yang sebarannya di seluruh Indonesia. Sementara Urea hanya 10 kabupaten di Jawa Timur, dan Petroganik hanya di 8 provinsi. Ihwan memberikan data bahwa serapan pupuk phonska dan petroganik terbukti sejalan (dan meningkat) dengan peningkatan produktivitas padi dan jagung. 

Diskusi Umum FEB Unair 12 Okt 2018 d
Diskusi ini mendapat sambutan antusias dari peserta terbukti dengan munculnya 10 pertanyaan dari berbagai sudut pandang. Misalnya Ibu Atina, Ibu Muryani, Ibu Fitriyah dan Bapak Wahyu sebagai dosen Universitas Airlangga. Lalu Bapak Yoyok, Bapak Danang, dan Bapak Yudi dari Asosiasi sarjana atau profesi pertanian. Ibu Silvana dan Bapak Jakfar mewakili mahasiswa S3, serta Rizal mewakili mahasiswa S1. Pertanyaan para audiens menyasar pada kebijakan pertanian sejak era Sukarno, Suharto hingga Jokowi. Pertanyaan lain adalah tentang peran petrokimia dalam melahirkan petani muda yang semakin langka di Indonesia melalui kegiatan Jambore nasional.
Acara ini dinilai sukses oleh peserta. Misalnya oleh Bapak Abdus Salim yang berharap diskusi lanjutan tetap diselenggarakan di FEB Unair, misalnya tentang industri hilir sektor pertanian, serta peran industri pendukung, seperti lembaga keuangan, IT, litbang dan kampus dalam mendukung sektor pertanian, misalnya melalui financial technology dan platform aplikasi. (AJ-AS)

BERITA TERKINI

PENGUMUMAN AKADEMIK

KEGIATAN MAHASISWA

PELUANG KERJA